Minggu, 21 Juli 2019

Sumber Ajaran Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sunnah merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam setelah Al-Qur’an, sunnah juga berfungsi sebagai penjelas hukum serta ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an. Nampaknya sulit dibayangkan apabila Al-qur’an dipahami dan didalami tanpa melalui sunnah/hadis. Karena memahami Al-Qur’an tanpa merujuk kepada hadis maka akan terjadi kesalahfahaman dalam memahami sesuatu. Oleh karena itu, perhatian yang diberikan umat Islam terhadap sunnah/hadis sejalan dengan besarnya perhatian mereka terhadap Al-Qur’an.
Agama Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai rohmatan lil ‘alamin, agama yang akan menghantarkan pengikutnya menuju kebahagiaan baik itu duniawi maupun ukhrowi. Ajaran yang ada dalam agama Islam merupakan suatu pedoman ataupun petunjuk yang harus dipegang teguh oleh muslim dimana pun muslim itu berada. Selain sebagai pembedadengan agama lain dikarenakan ajaran Islam memiliki karakter tersendiri, ajaran  Islam berisi tatacara bagaimana seorang muslim dalam rangka menjalankan  agamanya yaitu Islam. Karena Islam apabila dilihat dari sisi normative, adalah agama yang mengandung ajaran Allah SWT di dalamnya baik itu terkait dengan akidah ataupun muamalah.
Al qur’an sebagai sumber pertama dan utama yang memuat ajaran yang bersifat umum dan global, oleh karena itulah Al sunnah tampil sebagai sumber ajaran kedua untuk menjelaskan keumuman isi Al qur’an. Sehingga masalah-masalah yang terjadi di masyarakat bisa terselesaikan dengan baik, karena semuanya sudah di atur di Al qur’an dan Al sunnah.

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa hadis sebagai sumber ajaran islam?
2. Apa saja istilah-istilah hadis?
3. Apa posisi dan fungsi?
4. Bagaimana sejarah dan kodifikasi hadis?


BAB II
PEMBAHASAN
A. HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Secara historis, sejak zaman Nabi (632 M.), umat Muslim sepakat untuk menjadikan sunnah (hadis) sebagai salah satu sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. Belum atau tidak ada bukti historis yang dapat menjelaskan adanya sikap dari kalangan kaum Muslim pada saat itu yang menolak sunnah (hadis) sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan pada masa al-khulafà’ al-ràshidùn (632-661 M.) dan Bani Umayah (661-750 M.), belum terlihat secara jelas adanya kalangan dari umat Muslim yang menolak sunnah sebagai salah satu ajaran Islam. Barulah pada awal masa Abbasiyah (750-1258 M.), muncul secara jelas sekelompok kecil umat Muslim yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok inkàr al-sunnah  atau munkir al-sunnah. Penempatan hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran ini didasarkan atas adanya beberapa kenyataan berikut ini:
1. Hadis adalah penjelas bagi al-Qur’an
Pada dasarnya, tidak ada keterangan dari al-Qur’an atau dari pernyataan Nabi satu pun yang menyatakan bahwa hadis adalah penjelas dari al-Qur’an. Hanya saja, sebuah deduksi “hadis adalah penjelas dari al-Qur’an” ini didasarkan pada posisi dan fungsi Nabi sendiri ketika diutus sebagai seorang rasul bagi umat manusia. Dalam firman Allah Qs. al-Nahl, 16:44 dinyatakan bahwa: 
Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) al-dzikr (al-Qur’an) agar supaya engkau menjelaskan kepada manusia apa (ajaran-ajaran) yang telah diturunkan kepada mereka. Ayat di atas secara eksplisit menyatakan bahwa Nabi Muhammad bertugas atau berfungsi sebagai penjelas al-Dzikr (al-Qur’an) kepada umat manusia. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an masih banyak yang bersifat global (kullì) dan tidak rinci (juz’ì), sehingga perlu penjelasan-penjelasan Nabi. Secara historis, ajaran-ajaran al-Qur’an sudah sempurna dengan berakhirnya masa turunnya wahyu al-Qur’an, di mana ketika nabi masih hidup, beliaulah yang memang menjelaskan secara otoritatif terhadap sifat global al-Qur’an. Namun setelah sepeninggal beliau maka penjelasan otoritatif oleh Nabi sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, hadis-hadis Nabi merupakan turunan langsung dari semua tindakan beliau dalam menafsirkan ajaran-ajaran al-Qur’an dalam tataran kehidupan nyata. Hadis-hadis Nabi adalah representasi beliau ketika beliau sudah tidak dapat hadir secara fisik di tengah-tengah masyarakat Muslim. Hadis-hadis beliau adalah warisan beliau satu-satunya (selain al-Qur’an). Maka menjadi wajarlah, jika kemudian hadis-hadis beliau memiliki peran yang penting dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi umat Muslim. Karenanya, ia harus dijadikan sumber ajaran Islam yang otoritatif, meskipun harus diakui juga bahwa ajaran-ajaran dalam hadis pun tetap harus sejalan dengan dasar-dasar yang dibangun oleh al-Qur’an.
2. Ayat-ayat tentang Perintah untuk Taat Kepada Rasulullah
Muhammad SAW yang berkedudukan sebagai rasul dalam al-Qur’an adalah terkait dengan misi ketuhanan dalam membentuk sebuah tatanan masyarakat “imani” berdasarkan risalah (Kitab Suci) al-Qur’an.  Oleh karena itu, banyak ditemukan ayat-ayat al-Qur’an yang mengharuskan kaum Muslim untuk mentaati seruan-seruan beliau. Mentaati beliau berarti mentaati Allah. Di antara firman Allah yang berkaitan dengan keharusan mentaati rasul adalah:
“Barang siapa taat kepada Rasul, maka sebenarnya ia telah mentaati Allah; barangsiapa berpaling, maka tidaklah saya mengutusmu sebagai pengawas atas (perbuaan jahat) mereka.” (Qs. al-Nisà’: 8)
“Katakanlah, “Sekiranya kamu sekalian mencintai Allah, ikutilah aku’; Allah akan mencintai kalian dan mengampuni segala dosamu. Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Katakanlah: ‘taatlah kepada Allah dan kepada Rasul; jika kalian berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang ingkar’.” (Qs. Ali Imràn: 31-32)
Melalui ayat-ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa umat beliau diharapkan agar supaya mentaati beliau. Karena itu, hadith atau sunnah Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. Orang yang menolak hadith sebagai sumber ajaran Islam berarti orang itu telah menolak petunjuk al-Qur’an.

B. BEBERAPA ISTILAH SEPUTAR HADIS
Beberapa istilah-istilah hadis.
1. Sunnah
- Hadis atau sunnah diartikan jalan baik terpuji atau tidak. Sesuatu yang sudah menjadi tradisi atau kebiasaan dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
- Menurut Muhaditsin  , segala sesuatu yang dinukilkan  dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik sebelum maupun sesudahnya.
2. Khabar
- Secara etimologi, khabara-khabar (jama’: akhbar, orangnya: khabir) artinya berita yang disampaikan dari seseorang.
- Terminologi, segala sesuatu yang diterima dari yang selain Nabi Muhammad SAW. Orang yang meriwayatkan sejarah: akhbary.
3. Atsar
- Secara Etimologi, bekasan sesuatu atau sisa dari sesuatu atau sisa dari sesuatu atau nukilan ( yang dinukilkan)
- Terminologi, sesuatu yang diterima dari yang selain Nabi Muhammad SAW. Orang yang meriwayatkan hadis: Muhadits, orang yang meriwayatkan sejarah: akhbary.

C. POSISI DAN FUNGSI HADIS
1. Posisi Hadis
Menurut jumhur ulama, posisi hadis sebagai dalil dan sumber ajaran islam menepati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Hal tersebut terutama jika ditinjau dari segi wurud  atau tsubutnya yang bersifat qath’i, sedang hadis kecuali yang berstatus mutawatir bersifat dhanni al-wurud. Oleh karena itu, yang bersifat qath’i  didahulukan daripada yang bersifat dhanni.
Hadis nabi merupakan penafsiran, dalam praktek-praktek penerapan ajaran islam secara faktual dan ideal, umat islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Qur’an
2. Fungsi Hadis
Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadis tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S. Al-Nahl yang artinya  “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar Al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.
Penjelasan yang dimaksud di atas kemudian oleh para ulama di perinci ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar terdapat empat bentuk fungsi penjelasan hadis terhadap Al-Qur’an sebagai berikut;

a. Bayan al-Taqrir/ al-Ta’kid/ al-Isbat adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan didalam Al-Qur’an
b. Bayan al-Tafsir adalah memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih uj’mal, memberikan persyaratan ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlak dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum.
c. Bayan al-Tasyri’/ za’id ala al-Kitab al-Karim adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
d. Bayan al-Naskh adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian.

D. SEJARAH DAN KODIFIKASI HADIS
Hadis Nabawi atau Sunnah Nabawiyyah adalah satu dari dua sumber syariat Islam setelah Al-Quran. Fungsi hadits dalam syariat Islam sangat strategis. Diantara fungsi hadis yang paling penting adalah menafsirkan Al-Qur`an dan menetapkan hukum-hukum lain yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Begitu pentingnya kedudukan hadits, pantas jika salah seorang ulama berkata, “Al-Qur`an lebih membutuhkan kepada Sunnah daripada Sunnah kepada Al-Qur`an.”
Dahulu, para sahabat yang biasa mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan tindak-tanduk dan kehidupan Nabi secara langsung, jika mereka berselisih dalam menafsirkan ayat Al-Quran atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka merujuk kepada hadits Nabi. Mereka sangat memegang teguh sunnah yang belum lama diwariskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pelengkap wahyu yang turun untuk seluruh manusia.
Sejak jaman kenabian, hadis adalah ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslimin. Hadits mendapat tempat tersendiri di hati para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang datang setelah mereka. Setelah Al-Quran, seseorang akan dimuliakan sesuai dengan tingkat keilmuan dan hapalan hadisnya. Karena itu, mereka sangat termotivasi untuk mempelajari dan menghafal hadis-hadis Nabi melalui proses periwayatan. Tidak heran, jika sebagian mereka sanggup menumpuh perjalanan beribu-ribu kilometer demi mencari satu hadits saja.
Di awal pertumbuhan ilmu hadis ini, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan hadis-hadis yang mereka hapal sebagaimana yang mereka lakukan dengan Al-Qur`an. Kemudian, ketika sinar Islam mulai menjelajah berbagai negeri, wilayah kaum muslimim semakin meluas, para sahabat pun menyebar di sejumlah negeri tersebut dan sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta daya hapal kaum muslimim yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya mengumpulkan hadis dengan menuliskannya.

 • Masa Sahabat
Sebetulnya, kodifikasi (penulisan dan pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak jaman para sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan menyampaikan hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab al-Ilmu, bahwa Abdullah bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia biasa menulis sementara aku tidak.”
Namun, kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki. Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang penulisan hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu segan..” (HR Muslim

 • Masa Tabi’in dan setelahnya
Tradisi periwayatan hadis ini juga kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in sesudahnya. Hingga datang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdul’aziz. Dengan perintah beliau, kodifikasi hadits secara resmi dilakukan.
Imam Bukhari mencatat dalam Shahihnya, kitab al-ilmu, “Dan Umar bin Abdul ‘aziz menulis perintah kepada Abu Bakar bin Hazm, “Lihatlah apa yang merupakan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tulislah, karena sungguh aku mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan lenyapnya para ulama.”
Ibnu Hajar mengatakan, “Dapat diambil faidah dari riwayat ini tentang permulaan kodifikasi hadis nabawi. Dahulu kaum muslimin mengandalkan hapalan. Ketika Umar bin Abdul aziz merasa khawatir –padahal beliau ada di akhir abad pertama- hilangnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, beliau memandang bahwa kodifikasi hadis itu dapat melanggengkannya.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam tarikh ashfahan kisah ini dengan redaksi, “Umar bin Abdul ‘aziz memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri, “lihatlah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kumpulkanlah.”
Diantara yang pertama kali mengumpulkan hadis atas perintah Umar bin Abdul ‘aziz adalah Muhammad bin Muslim, ibnu Syihab az-Zuhry, salah seorang ulama ahli Hijaz dan Syam. Setelah itu, banyak para ulama yang menuliskan hadis-hadis Rasulullah dan mengumpulkannya dalam kitab mereka.
Di Mekah ada Ibnu Juraij (150 H) dengan kitab “as-sunan”, “at-Thaharah”, “as-shalah”, “at-tafsir” dan “al-Jaami”. Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar (151 H) menyusun kitab “as-sunan” dan “al-Maghazi”, atau Malik bin Anas (179 H) menyusun “al-Muwaththa”. Di Bashrah Sa’id bin ‘Arubah (157 H) menyusun “as-sunan” dan “at-tafsiir”, Hammad bin Salamah (168 H) menyusun “as-sunan”. Di Kufah Sufyan ast-Tsauri (161 H) menyusun “at-Tafsir”, “al-Jami al-Kabir”, al-Jami as-Shaghir”, “al-Faraaidh”, “al-Itiqad”
Al-‘Auza’I di Syam, Husyaim di Washith, Ma’mar di Yaman, Jarir bin Abdul hamid di ar-Rai, Ibnul Mubarak di Khurasan. Semuanya adalah para ulama di abad ke dua. Kumpulan hadis yang ada pada mereka masih bercampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa para ulama tabi’iin.
Begitulah juga penulisan hadis ini menjadi tradisi ulama setelahnya di abad ke tiga dan seterusnya. Hingga datang zaman keemasan dalam penulisan hadis. Ia adalah periode Kitab Musnad Ahmad dan kutub sittah. Diantaranya adalah dua kitab shahih. Al-Imam al-Bukhari, seorang ulama hadis jenius yang memiliki kedudukan tinggi, menulis dan mengumpulkan hadis-hadis shahih dalam satu kitab yang kemudian terkenal dengan nama “shahih al-Bukhari”. Diikuti setelahnya oleh al-Imam Muslim dengan kitab “shahih muslim”.
Tidak hanya itu, zaman keemasan ini telah menelurkan kitab-kitab hadis yang hampir tidak terhitung jumlahnya. Dalam bentuk majaami, sunan, masanid, ‘ilal, tarikh, ajzaa` dan lain-lain. Hingga, tidak berlalu zaman ini kecuali sunnah seluruhnya telah tertulis. Tidak ada riwayat yang diriwayatkan secara verbal yang tidak tertulis dalam kitab-kitab itu kecuali riwayat-riwayat yang tidak diperhitungkan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sejak zaman Nabi (632 M.), umat Muslim sepakat untuk menjadikan sunnah (hadis) sebagai salah satu sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an.
2. Beberapa istilah-istilah hadis, ada sunnah, khabar, atsar.
3. a. Posisi Hadis
Menurut jumhur ulama, posisi hadis sebagai dalil dan sumber ajaran islam menepati posisi kedua setelah Al-Qur’an.
b. Fungsi Hadis
Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadis tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an.
4. Dahulu, para sahabat yang biasa mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan tindak-tanduk dan kehidupan Nabi secara langsung, jika mereka berselisih dalam menafsirkan ayat Al-Quran atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka merujuk kepada hadits Nabi. Mereka sangat memegang teguh sunnah yang belum lama diwariskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pelengkap wahyu yang turun untuk seluruh manusia.
Di awal pertumbuhan ilmu hadis ini, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan hadis-hadis yang mereka hapal sebagaimana yang mereka lakukan dengan Al-Qur`an. Kemudian, ketika sinar Islam mulai menjelajah berbagai negeri, wilayah kaum muslimim semakin meluas, para sahabat pun menyebar di sejumlah negeri tersebut dan sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta daya hapal kaum muslimim yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya mengumpulkan hadis dengan menuliskannya.

DAFTAR PUSTAKA
Ismail, M.Shuhudi. Hadist Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya.
Jakarta: Geme Insani Press, 1995.
Haris, Abdul. HADITH NABI SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM: Dari Makna Lokal-Temporal Menuju Makna Universal, Jurnal IAIN Mataram, Vol. 12, No. 1,
Juni 2013.
Abd. Hakim, Atang, dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA, 2014
Ahmad, Muhammad. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Khoiriyah. Memahami Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar