Selasa, 30 Juli 2019

Faktor Penyebab Kemunduran Islam

BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan konteks sejarah, umat Islam pernah mengalami masa kejayaan antara tahun 670-1250 M dan masa kemunduran. Banyak faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam dan dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Para ahli fikih berpendapat bahwa kemunduran umat karena Islam tidak dapat dipahami dengan benar sehingga muncul keyakinan bid’ah. Berbeda dengan kaum teolog yang berpendapat bahwa kemunduran umat Islam karena teologi yang dianut tidak relevan dan dinamis. Kemudian, kamu politisi cenderung menganggap bahwa adanya usaha perebutan kekuasaan di kalangan umat Islam sendiri
Sedangkan pada masa Khalifah atau sahabat nabi muncul berbagai macam pendapat yang menyebabkan muncul berbagai aliran seperti syiah, mu’tazilah dan sebagainya dan juga keinginan untuk menjadi khalifah menggantikan Nabi Muhammad SAW, sehingga menimbulkan adanya perpecahan dikalangan umat Muslim. Islam adalah agama Rahmatallilamalin yaitu berupa rahmat dari Allah sepatutnya, para kaum muslimin saling menghormati dan menjunjung agama dari Allah SWT yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW.
Pada uraian diatas maka akan dibahas bab mengenai faktor kemunduran islam yang meliputi (a) Isu pintu Ijtihad telah tertutup, (b) Perpecahan politik, (c) Perang Salib.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Isu Pintu Ijtihad Telah Tertutu
Pintu ijtihad tertutup dikarenakan pada masa yang lampau terjadi penafsiran al qur’an dan hadis secara besar-besaran dan sampai-sampai tidak terbendungkan. Dikawatirkan dengan adanya ijtihad yang berlebihan maka pada abad pertengahan diadakan penutupan pintu ijtihad. Hanya ada beberapa saja yang boleh melakukan ijtihad. Sebab-sebab tertutupnya pintu ijtihad dan berkembangnya taqlid. Ada beberapa sebab tertutupnya pintu ijtihad, sebagai berikut:
Pertama, bahwa masalah-masalah Islam dalam kaidah metodologis telah disusun secara baku. Di samping itu, fiqh telah dikupas secara detail oleh para mujtahidin pada periode yang kreatif dari sejarah Islam. Kenyataan ini membawa para ulama yang datang kemudian tidak terlalu lagi berkreasi untuk berpikir lebih serius karena segala sesuatu yang berhubungan dengan ushul dan furu’ telah tersedia dalam karya peninggalan para imam mujtahidin. Mereka hanya tinggal mengambil dan bila perlu memberi sedikit komentar atau ulasan saja. Ini dikarenakan sudah banyak referensi-referensi sepeninggalan imam-imam mujtahidin.
Kedua, melemahnya kepercayaan diri ulama-ulama yang datang kemudian. Mereka merasa kemampuan mereka begitu tidak berarti, dan karena itu takut untuk ber-istinbat (melakukan penyimpulan) langsung dari sumber asli yaitu al-Qur’an dan Hadis. Mereka sudah merasa cukup hanya dengan menerima apa yang mereka warisi dari imamnya tanpa melakukan kritik lebih jauh. Sebenarnya sebab pintu ijtihad tertutup tentu jauh lebih kompleks lagi dari apa yang dikemukakan di atas. Mungkin sama kompleksnya dengan sejarah dan struktur kebudayaan Islam itu sendiri. Kondisi politik jelas merupakan faktor yang sangat berpengaruh yang membawa keadaan stagnasi intelektual. Hancurnya kemajuan ilmu dan  karena itu pudarnya ijtihad di kota–kota Islam seperti Baghdad, Cordova, Qairawan, dan lain–lain dikarenakan mundurnya kemakmuran di kota-kota tersebut. Ini merupakan dampak dari disintegritas politik yang dialami dunia Islam sesudah jaman kejayaannya. Kekayaan publik tersebut tersedot untuk kepentingan perang yang menghancurkan, dan rakyat harus memikul beban berat.
Ketiga, dalam literatur ushul fiqh, dapat dijumpai pembahasan tentang kemampuan akal. Kebanyakan penulis ushul dari kalangan ortodoks cenderung menerima pendapat bahwa akal tidak berguna dalam mengetahui yang baik dan buruk, serta tidak ada hukum kecuali yang ditetapkan Tuhan. Pendapat yang terlalu melemahkan kedudukan akal ini barangkali juga besar pengaruhnya dalam menutup pintu ijtihad.
Di samping pendapat di atas, ada beberapa sebab yang sering disebut orang berkenaan dengan tertutupnya pintu ijtihad antara lain sebagai berikut.
1. Terbagi–baginya negara Islam pada abad keempat hijriyah ke dalam beberapa kerajaan kecil, serta terjadi percekcokan para raja dalam merebut kekuasaan. Hal ini telah memaksa mereka mengabaikan dukungannya kepada gerakan penetapan hukum, dan sejalan dengan hal itu, para ulama pun sibuk dengan masalah politik.
2. Adanya fanatisme mazhab, hilangnya sikap percaya diri, serta berbuat “semaunya” atau secara berlebih–lebihan dalam men-takwil-kan berbagai nash untuk menguatkan mazhab yang dianutnya.
3. Meluasnya berbagai penyakit etis di kalangan ulama, rasa dengki-mendengki, serta egoistis.
4. Tersebarnya sikap mencari hidup dari fatwa dan jabatan qadhi, serta tidak hanya kaidah-kaidah yang mereka pegangi.
5. Kekhawatiran para ulama akan lemahnya penyokong agama, yang bisa jadi membawa kepada runtuhnya bangunan fiqh yang telah dibina oleh imam yang terdahulu, karena itu mereka berfatwa agar pintu ijtihad ditutup untuk mencegah ikut-sertanya orang–orang yang tidak ahli dalam berijtihad atau dalam menggali hukum dari sumbernya.
B. Perpecahan Politik
1. Pemimpin tidak mengamalkan ajaran agama
Para ahli sejarah mengajukan hipotesis bahwa kemunduran Islam disebabkan karena gaya hidup para penguasa yang gemar hidup bermewah-mewah dan berorientasi duniawi saja. Pola hidup serakah, iri hati, ambisi kekuasaan dan tidak mementingkan kehidupan rohani dan ukhrawi menjadi gaya hidup para penguasa. Penguasa Islam telah menggunakan tangan besi dalam pemimpin. Ajaran Islam hanya dalam kehidupan nyata. Yang paling ironis saat itu adalah agar pemimpin ditaati secara mutlak, tidak boleh dibantah dan harus dihormati, mereka mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi meskipun tidak adil.
2. Serangan tentara Mongol dan runtuhnya Abbasiyah
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba disalah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Mu’tashim yang berkuasa saat itu tidak berdaya dan tidak mampu membendung kekuatan tentara Hulagho Khan. Kota baghdad dihancurkan rata dengan tanah, dan Hulagho Khan menancapkan kekuasaan-Nya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan serangannya ke Syiria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri Khlifah Abbasiyah disana, tetapi juga merupakan awal dari massa kemunduran politik dan peradaban islam. Khalifah sebagai simbol pemersatu umat Islam di dunia mulai hilang. Kejadian yang sangat tragis yaitu ketika hancurnya perpustakaan terbesar di dunia saat itu, Baitul Hikmah, yang menyimpan banyak dokumen sejarah dan buku berharga dalam berbagai disiplin ilmu.
Saat tentara Mongol masuk ke Baghdad, para penduduk berusaha kabur, namun berhasil decegat dan dibantai tanpa ampun. Martin Sicker menyebutkan bahwa hampir 90.000 orang mungkin dibantai. Beberapa perkiraan lainnya jauh lebih tinggi. Wassaf mengklaim bahwa korban jiwa mencapai 100-an ribu orang. IanFrazier dari The New Yorker mengatakan bahwa perkiraan korban jiwa bervariasi dari 200.000 hingga 1000.000 orang. Akibat kekejamannya ini Hulagu harus memindahkan perkemahannya ke luar dari kota karena bau busuk yang sangat menyengat didalam kota. Jumlah penduduk Baghdad jauh berkurang dan kota itu menjadi reruntuhan selama beberapa abad berikutnya dan hanya secara perlahan pulih dan memperoleh sedikit dari kejayaan lamanya. Pasukan Mongol menjarah dan kemudian menghancurkan masjid, istana, perpustakaan, dan rumah sakit. Bangunan-bangunan besar yang merupakan karya beberapa generasi dibakar sampai habis. Khalifah dipaksa menonton ketika penduduknya dibantai dan harta bendanya dirampas. Menurut sebagian besar sumber, Khalifah dibunuh dengan cara di injak-injak oleh kuda. Pasukan Mongol menggulung Khalifah dalam sebuah karpet, lalu mereka menunggang kuda diatas badannya, karena mereka percaya bahwa bumi akan marah jika ada darah penguasa yang ditumpahkan.
3. Terjadi disintegarasi umat Islam
Benih perpeacahan dan disintegrasi sesunguhnya telah muncul di tubuh umat islam sejak periode akhir pemerintahan Abbasiyah. Hal ini ditandai dengan konflik antara Sunni dan Syi’ah semakin menajam. Setelah Abbasiyah hancur, esklasi konflik semakin memuncak secara akibat perbedaan perbedaan paham agama dalam aspek ideologis, teologis dan berujung pada konflik geografis. Umat Islam mengalami perpecahan menjadi nation-state kecil akibat kuatnya disentegrasi.
Secara umum, di zaman akhir Abbasiyah, wilayah teritorial Islam terbagi dua yaitu: pertama,  bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suriah, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua, bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusatnya. Secara rill, daerah-daerah itu berada dibawah kekuasaan gubernur –gubernur bersangkutan. Hubungan denga Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti. Akibatnya Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tidak saling percaya dikalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan eksepansi. Selain itu, penyebab utama banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki. Akibatnya beberapa propinsi di Persia, Turki, Kurdi, dan lainnya mulai lepas dari genggaman penguasa Banni Abbas.
C. Perang Salib
Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Arp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Arp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa iniberhasil mengalahkan tentara romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akhraj, Al-Hajr, Prancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan perang Salib. Kebencian tersebut bertambah setelah dinasti Saljuk dapat merebut Bait Al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Saljuk  menetapkan beberapaperaturan bagi mat Kristen yang ingin berziarah kesana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseteru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode.
1. Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Prancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun1098 M menguasai Raha (Edessa). Disini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan Latin II di timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka berhasil menduduki Bait Al-Maqdis (15 juli 1099 M) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya Godfrey. Setelah penaklukan Bait Al-Maqdis itu, tentara salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M), dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya dalah Raymond.
2. Periode Kedua
Imaduddin Zanki,penguasa Moshul, dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun  1144 M namun, ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh putranya, Nuruddin Zaki,. Nuruddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Jatuhnya Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh raja Prancis Louis VII dan raja Jerman Codrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristendi Syiria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki di negerinya. Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalah Al-Din Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalah Al-Din yang terbesar adalah merebut kembali di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslimin sangat memukul perasaan tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard The Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Prancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. meskipun mendapat tantangan berat dari Shalah Al-Din, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Akan tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina, pada tanggal 2 nopember 1192 M, di buat perjanjian antara tentara Salib dan Shalah Al-Din yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen pergi berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
3. Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini di pimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, Al-Malik Al-Kamil, membuat perjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat sementara Al-Malik Al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum Muslimin disana dan Frederick tidak mengirim bantuan pada Kristen di Syiria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan Al-Malik Al-Shalih, penguasa mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang mengganti posisi dinasti Ayyubiyah pimpinan berang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaun Muslimin tahun 1291 M.
Demikianlah perang Salib yang berkobar di timur. Perang ini tidak berhenti di barat, di Spanyol, sampai umat islam terusir dari sana. Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugain mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian ini menyebabkan kekuatan politik Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian, mereka bukan menjadi bersatu tetapi terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memperdekakan diri dari pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad.   


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pintu ijtihad tertutup dikarenakan pada masa yang lampau terjadi penafsiran al qur’an dan hadis secara besar-besaran dan sampai-sampai tidak terbendungkan. Dikawatirkan dengan adanya ijtihad yang berlebihan maka pada abad pertengahan diadakan penutupan pintu ijtihad. Hanya ada beberapa saja yang boleh melakukan ijtihad.
2. Penyebab perpecahan politik di antara umat Islam:
a. Pemimpin tidak mengamalkan ajaran agama
b. Serangan tentara Mongol dan runtuhnya Abbasiyah
c. Terjadi disintegarasi umat Islam
3. Perang Salib terjadi dalam tiga periode:
a. Periode pertama
b. Periode kedua
c. Periode ketiga


DAFTAR PUSTAKA
Dkk,Falahudin, Kuliah Kemuhammadiyahan,(Mataram, LP2I UM. Mataram,
2015).
Ibda,2007,Tertutupnya Pintu Ijtihad, (Purwokerto, P3M STAIN Purwokerto, Vol
3, No 1, 15 Mei 2019).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Bandung, Rajagrafindo Persada, 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar