Sabtu, 13 Juli 2019

Qashashul Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT. yang berisi petunjuk bagi manusia. Ajaran-ajarannya disampaikan secara variatif serta dikemas sedemikian rupa. Ada yang berisi informasi, perintah dan larangan, dan ada juga yang dimodifikasi dalam bentuk diskriftif kisah-kisah yang mengandung ibrah yang dikenal dengan kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Tuntunan dalam al-Qur’an adakalanya disampaikan melalui kisah-kisah dengan tujuan untuk menjelaskan bantahan terhadap kepercayaan-kepercayaan yang salah dan bantahan terhadap setiap bujukan untuk berbuat ingkar, serta menerangkan prinsip-prinsip Islamiyah dalam berdakwah.

            Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT. mempunyai banyak keunikan, salah satu keunikannya adalah suka mendengar dan mempelajari cerita. Hal tersebut, disebabkan karena kisah dapat menarik perhatian apabila di dalamnya terselip pesan-pesan dan pelajaran yang dapat menanamkan kesan rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Nasihat atau pelajaran yang disampaikan tanpa variasi walau dengan tutur kata yang indah belum tentu dapat menarik perhatian akal. Bahkan isinya pun belum tentu dapat dipahami. Akan tetapi bila nasehat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan peristiwa dalam realita kehidupan, maka akan terwujudlah dengan jelas tujuannya. Sehingga akan merasa senang mendengarkan, memperhatikannya dengan penuh kerinduan dan rasa ingin tahu, dan pada gilirannya ia akan terpengaruh akan nasehat dan pelajaran yang terkandung di dalammya.
Kesusasteraan kisah dewasa ini telah menjadi seni yang khas diantara seni-seni bahasa dan kesusasteraan. Kisah yang benar telah membuktikan kondisi ini dalam uslub arabi secara jelas dan menggambarkannya dalam bentuk yang paling tinggi, yaitu kisah-kisah al-Qur’an. [13] Kisah-kisah dalam al-Qur’an tentu saja berbeda dengan cerita atau dongeng lainnya, karena mempunyai karakteristik di dalamnya. Dalam al-Qur’an kisah merupakan petikan-petikan dari sejarah sebagai pelajaran bagi umat manusia yang senantiasa dapat menarik manfaat dari peristiwa-peristiwa itu.
            Secara eksplisit al-Qur’an berbicara tentang pentingnya sejarah, hal tersebut tertera dalam QS. Ali Imran (3):140 berbunyi:

إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
Terjemahnya:
“Dan kamu (pada perang uhud) terkena luka, Maka kaum lainpun (kafir) kena luka pula seperti itu. Dan hari (kejayanan dan kekalahan) itu akan datang silih berganti .

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian Qashashul Qur’an?
2.      Berapa macam Qashashul Qur’an?
3.      Bagaimana karakteristik Qashashul Qur’an?
4.     Apa tujuan Qashashul Qur’an?
5.     Apa faedah Qashashul Qur’an?

C.    Tujuanan Masalah
1.      Mengetahui pengertian Qashashul Qur’an
2.      Mengetahui macam Qashashul Qur’an?
3.      Mengetahui karakteristik Qashashul Qur’an?
4.      Mengetahui tujuan Qashashul Qur’an?
5.      Mengetahui faedah  Qashashul Qur’an?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qashashul Qur’an
            Kata Qashashul berasal dari bahas Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata Qishash yang berartitatabbu’ al-atsar (napak tilas/ mengulang kembali masa lalu).  Qishash menurut Muhammad Ismail Ibhrahim yang berarti “hikayat (dalam bentuk) prosa yang panjang” . sedang menurut Manna Khalil al-Qattan “qashashtu atsarahu” yang berarti “kisah ialah menelusuri jejak” . Kata al-qashash adalah bentuk masdar seperti dalam firman Allah QS. Al-Kahfi (18): 64 disebutkan:
فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا
Terjemahnya:
            “Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula”.
Maksudnya kedua orang itu kembali mengikuti jejak darimana keduanya itu datang. Dan firmanNya melalui lisan ibu Musa, QS. Al-Qashash (28): 11 sebagai berikut: Terjemahnya:
            “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: ikutilah dia”.
Maksudnya ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya. Secara etimologi  (bahasa), al-qashash mempunyai arti urusan (al-amr), berita (al-khabar), perbuatan (al-sya’an), dan keadaan (al-hal). Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata al-Qashsash diterjemahkan dengan kisah yang berarti kejadian (riwayat, dan sebagainya) . Menurut Al-Raghib al-Ishfahani, Qashsash adalah akar kata (mashdar) dari qashsha yaqushshu,secara lughawi konotasinya tak jauh berbeda dari yang disebutkan di atas, yang dipahami sebagai “cerita yang ditelusuri”  seperti dalam firman Allah swt. Qs Yusuf (12): 111:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأولِي الألْبَابِ


Terjemahnya:
            Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunya akal”.
            Dengan melihat beberapa arti Qishshash di atas dapat diambil pengertian bahwa Qishash sama dengan kisah yang mempunyai arti segala peristiwa, kejadian atau berita yang telah terjadi dari suatu cerita untuk menelusuri jejaknya.

Adapun yang dimaksud dengan Qashashul Qur’an adalah
 إخبار عن الأحوال الماضية والأنبياء القدماء والأحداث الواقعة فى الماضى.
            “Pemberitaan mengenai keadaan umat terdahulu, nabi-nabi terdahulu, dan peristiwa yang pernah terjadi”.
            Menurut perspektif al-Qur’an, Allah swt. mengungkapkan diriNya melalui peristiwa-peristwa, namun wahyuNya menggunakan tema-tema yang sudah terkenal dan dinyatakan kembali sampai orang-orang beriman meresapinya.  Al_Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan neger-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik mempesona.
            Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa pada kisah-kisah yang dimuat dalam al-Qur’an semuanya cerita yang benar-benar terjadi, tidak ada cerita fiksi, khayal, apalagi dongeng. Jadi bukan seperti tuduhan sebagian orientalis bahwa al Qur’an ada yang tidak cocok dengan fakta sejarah. 

B. Macam-macam Qashashul Qur’an
            Kisah-kisah dalam al-Quran di bagi menjadi tiga macam , yaitu:
1.      Dilihat dari sisi pelaku
Dilihat dari sisi pelaku, Manna al- Qathtan membagi menjadi tiga macam yaitu:
a)      Kisah para nabi
Bagian ini bersikan tentang ajakan  para nabi kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat yang menimpa orang beriman (mempercayai) dan golongan yang mendustakan para nabi. Misalnya kisah nabi Nuh as., Ibrahim as., Musa as., Harun as, Isa as., Muhammad saw, dan nabi-nabi serta rasul lainnya.
b)      Kisah yang berhubungan dengan masa lalu dan orang-orang yang tidak disebutkan kenabiannya.
Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halamannya, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putera Adam, Ashabul Kahfi, Dzul Qarnain, Qarun, Ashabus Sabti (orang –orang yang menangkap ikan pada hari sabtu), misalnya Maryam, Ashabul ukhdud, Ashabul Fil dan lain-lain.
c)      Kisah yang terjadi pada masa Rasulullah SAW
Seperti perang Badar dan Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah al_Taubah, perang al-Akhzab, Hijrah, Isra’ dan lain-lain.
            Cerita-cerita mengenai para nabi dalam Al-Qur’an bervariasi sesuai dengan kasus, tetapi mereka semua adalah pemberi peringatan yang mendapat perlindungan Allah swt. Kepada para hambaNya. Perlindungan ini adalah salah satu elemen dalam narasi yang dipercepat dengan insiden. Contoh Nabi Ibrahim AS diselamatkan dari api yang dilempar kedalamnya oleh umatnya setelah dia menghancurkan patung-patung QS. al Anbiya’ (21): 68-71. Nabi Isa as diselamatkan ketika Allah swt, secara mukjizat menghalanginya dari orang-orang Yahudi dari menyalibnya QS. an-Nisa (4): 157. 
2.      Dilihat dari panjang pendeknya
Dilihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah al-Qur;an dapat dibagi menjadi tiga,  yaitu:
a.       Kisah panjang, contohnya kisah nabi Yusuf a.s dalam QS. Yusuf (12) yang hamper seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan nabi Yusuf, sejak masa kanak-kanak sampai dewasa dan memiliki kekuasaan.
b.      Contoh la1innya adalah kisah nabi Musa a.s dalam surah al-Qashash (28), kisah nabi Nuh a.s dan kaumnya dalam QS Nuh (71), dan lain-lain.
c.       Kisah yang lebih pendek dari bagian yang pertama (sedang), seperti kisah Maryam dalam QS Maryam (19), kisah Ahzab al-Kahfi pada QS al-Kahfi (18), kisah nabi Adam a.s dalam QS al-Baqarah (2), dan QS Thoha(20), yang terdiri atas sepuluh atau beberapa belas ayat saja.
d.      Kisah pendek yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah nabi Hud a.s nabi Luth a.s dalam Qs al-A’raaf (7), kisah nabi Shahih a.s dalam Qs Hud (110), dan lain-lain.
3.      Dilihat dari jenisnya
Dilihat dari jenisnya Kisah-kisah dalam al-Quran di bagi menjadi tiga macam ,  yaitu:
a.       Kisah Sejarah (al-qishash al-tarikhiyyah), berkisar tentang kisah-kisah sejarah, seperti para nabi dan rasul.
b.      Kisah sejarah/ perumpamaan (al-qishash al-tamtlisiyah), untuk menerangkan atau memperjelas suatu pengertian, bahwa peristiwa itu tidak benar terjadi tetapi hanya perkiraan.
c.       Kisah asatir, kisah ini untuk mewujudkan tujuan-tujuan ilmiah atau menafsirkan, fenomena yang ada atau menguraikan masalah yang sulit diterima akal.

Kisah-kisah al-Qur’an pada umumnya mengandung tiga unsur,  yaitu:
1)      Pelaku (al-sakhsiyyat), kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an tidaklah hanya manusia. Dalam QS an-Naml (27): 23, tetapi juga ada malaikat, dalam QS Hud (11): 69-83, Jin dalam  QS saba’ (34):12, dan binatang (burung, semut, dll), dalam QS An-Naml (27): 18-19.
2)      Peristiwa (ahdats), hal ini terbagi menjadi: peristiwa yang berkelanjutan, peristiwa yang dianggap luar biasa dalam QS Almaidah (5): 110-115, dan peristiwa yang dianggap biasa dalam QS Almaidah (5):116-118.
3)      Dialog (alhiwar), dalam QS Al-A’raf (7):11-25, Thaha (20): 9-99.

C. Karakteristik  Qashashul Qur’an
Al-Qur’an  tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara berurutan (kronologis) dan memaparkan kisah-kisah itu secara panjang lebar. Tetapi terkadang berbagai kisah disebutkan berulang-ulang dibeberapa tempat, ada pula beberapa kisah disebutkan al-Qur;an dalam bentuk yang berbeda, disatu tempat ada bagian yang di dahulukan dan ditempat lain diakhirkan. Kadang-kadang pula disajikan secara ringkas dan kadang secara panjang lebar. Hal tersebut menimbulkan perdebatan diantara kalangan orang yang meyakini dan orang-orang yang meragukan al-Qur’an. Mereka yang ragu terhadap al-Qur’an sering mempertanyakan, mengapa kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak disusun secara kronologis dan sistematis sehingga lebih mudah dipahami? Karena hal itu tersebut menurut mereka dipandang tidak efektif dan efisien.
Menurut Manna Khalil al-Qattan, bahwa penyajian kisah-kisah dalam al-Qur’an begitu rupa mengandung beberapa hikmah,  yaitu,
1.        Menunjukkan kehebatan mukjizat al-Qur’an
2.        Memberi perhatian besar terhadap kisah tersebut untuk menguatkan kesan yang mantap dan melekat dalam jiwa
3.        Memperlihatkan adanya perbedaan tujuan diungkapkannya kisah tersebut.
Sedang faedah Qashashul Qur’an adalah sebagai berikut :
1.        Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa oleh setiap nabi, QS. al Anbiya’ (21):25.
2.        Meneguhkan hati Rasulullah dan umatnya dalam menegakkan agama Allah SWT. serta menegakkan kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnya pertolongan Allah SWT. dan hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya, QS. Hud (11):120.
3.        Membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka.
4.        Memperlihatkan kebenaran nabi Muhammad SAW. dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.
5.        Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk, QS. Ali Imran (3):93
6.        Kisah merupakan salah satu bentuk sastera yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang tertanam dalam jiwa, QS Yusuf (12): 111.

D. Tujuan Qashasul Qur’an
                Adanya kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti kuat bagi umat manusia bahwa al-Qur’an sangat sesuai dengan kondisi mereka karena sejak kecil sampai dewasa bahkan sampai tua, jarang orang yang tak suka pada kisah, apalagi bila kisah mempunyai tujuan ganda, yakni disamping pengajaran dan pendidikan juga berfungsi sebagai hiburan. Al-Qur’an sebagai kitab hidayah mencakup kedua aspek itu, disamping tujuan yang mulia, juga kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam bahasa yang indah dan menarik, sehingga tak ada orang yang bosan membaca dan mendengarnya. Sejak dahulu sampai sekarang, telah berlalu empat belas abad, kisah-kisah al-Qur’an yang diungkapkan dalam bahasa Arab itu masih up dated, mendapat tempat dan hidup di hati umat, padahal bahasa-bahasa lain telah banyak yang masuk museum, dan tidak terpakai lagi dalam berkomunikasi seperti bahasa Ibrani, Latin dan lain-lain .
          Cerita-cerita dalam al-Qur’an bukanlah suatu gubahan yang bernila sastera saja, baik gaya bahasa maupun cara menggambarkan peristiwa-peristiwa, tetapi merupakan suatu media untuk mewujudkan tujuan yang asli. Kisah-kisah dalam al-Qur’an secara umum mempunyai tujuan untuk kebenaran dan semata-mata untuk keagamaan . Adapun tujuan-tujuan kisah dalam secara keseluruhan dapat dirinci sebagai berikut :
1.        Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan, QS. Yusuf (12): 2-3, QS. (28):3, QS. (3):44.
2.        Menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah SWT. QS. (21): 51-92
3.        Menerangkan bahwa semua agama itu dasarnya satu dan semuanya dari Tuhan Yang Maha Esa, QS. Al-A’raf (7):59
4.        Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa. QS. Hud
5.        Menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.  Dengan agama nabi Ibrahim a.s secara khusus. Dengan agama-agama bangsa Israil pada umumnya dan menerangkan bahwa hubungan ini lebih erat daripada hugungan umum antara semua agama.

E.     Faedah Qashashil Al-Quran
Banyak faedah yang terdapat dalam qashash (kisah-kisah) Al-Quran sebagaimana yang diutarakan Manna Al-Qaththan berikut ini.
1.      Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnyabpertolongan Allah dan hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya.
2.      Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa setiap nabi.
3.      Membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka.
4.      Memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.
5.      Membuktikan kekeliruan ahli kitab yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk. Di samping itu, kisah-kisah itu memperlihatkan isi kitab suci mereka sesungguhnya, sebelum diubah dan direduksi.
6.      Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang menarik bagi setiap pendengarnya dan memberikan pengajaran yang tertanam dalam jiwa.

F.     Hukum Dan  Pandangan Para Ulama Terhadap Qashashil Al-Quran
Berkaitan dengan penuturan nama dan gelar dalam kisah-kisah di dalam Al-Quran, ada sebuah persoalan penting yang harus dijadikan jawabannya. Misalkan, suatu kisah di dalam Al-Quran yang menyebutkan nama-nama pelaku khusus, apakah hanya berlaku bagi para pelaku kisah tersebut, ataukah berlaku secara umum bagi siapa saja? Dengan kata lain, apakah ayat itu berlaku secara khusu atau umum?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal yang harus dijadikan pertimbangan adalah keumuman redaksi, bukannya kekhususan sebab. As-Suyuthi, memberikan alasan bahwa pertimbangan itulah yang dilakukan oleh para sahabat dan golonga lain. Ini dapat dibuktikan antara lain pada ayat zhihar dalam kisah Salman bin Shakhar, ayat li’an dalam kisah Hilal bin Umayyah, dan ayat qadzaf dalam kisah tuduhan terhadap Aisyah. Penyelesaian terhadap kasus-kasus trsebut diterapkan pula terhadap peristiwa lain yang serupa.
Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kisah tertentu, bahkan menunjuk pribadi seseorang namun, berlaku umum. Misalnya, surat Al-Maidah (5) ayat 49 tentang perintah kepada Nabi untuk mengadili secara adil. Ayat ini sebenarnya diturunkan berkenaan dengan kasus Bani Quraidzah dan Bani Nadhir. Namun, menurut Ibn Taimiyyah, tidak benar jika dikatakan bahwa perintah berlaku adil bagi Nabi itu hanya ditujukan terhadap dua kabilah itu.
Penjelasan mengenai penyebutan nama pelaku kisah, atau hakikat kisah itu sendiri, dikemukakan pula oleh Kuntowijoyo, Thaha Husein, dan Asy-Syarabashi. Kuntowijoyo memandang bahwa pada dasarnya kandungan Al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal. Bagian pertama dimaksudkan untuk membentuk pemahaman yang kemprehensif mengenai nilai-nilai ajaran agama islam, sedangkan bagian kedua dimaksudkan sebagai ajakan melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah. Kisah kesabaran Nabi Ayub misalnya, menggambarkan tipe sempurna mengenai betapa gigihnya kesabaran orang beriman ketika menghadapi cobaan apapun. Kisah kezaliman Fir’aun menggambarkan archetype mengenai kejahatan tirani pada masa paling awal yang pernah dikenal manusia. Kisah kaum Tsamud yang membunuh unta milik Nabi Shaleh lebih menggambarkan archetype mengenai penghianatan masal oleh konspirasi-konspirasi kafir.
Ungkapan yang hampir senada diungkapkan pula oleh Asy-Syarabashi. Ia menjelaskan bahwa kisah-kisah dalam Al-Quran tidak dimaksudkan sebagai uraian sejarah lengkap tentang kehidupan bangsa atau pribadi tertentu, tetapi sebagai bahan pelajaran bagi umat manusia.
Thaha Husein, yang terkenal dengan pendapat-pendapatny yang controversial dan sekularistik, lebih tertarik membahas apakah pelaku-pelaku kisah didalam Al-Quran itu pernah ada atau hanya khayalan semata. Dengan mengambil contoh kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ia berkesimpulan demikian:
“Taurat telah mengisahkan kepada kita tentang Ibrahim dan Ismail, demikian juga Al-Quran. Akan tetapi, munculnya kedua nama tokoh itu dalam Tauran dan Al-Quran tidak menjamin keberadaan keduanya secara historis. Kita terdorong untuk melihat keduanya di dalam sejarah sebagai suatu jalan untuk menetapkan hubungan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Arab di satu pihak, serta agama Islam dan agama Yahudi, Al-Quran dan Taurat, dipihak yang lain.”
Tidak hanya itu, Thaha Husein pernah mengatakan bahwa hijrahnya Ibrahim ke Mekah yang kemudian mengembangkan bangsa Arab musta’rabah hanyalah fiksi belaka. Maka, wajarlah jiksa para ulama konsevatif menganggap gagasan-gagasannya itu sebagai usaha melemparkan keraguan keotentikan Al-Quran. Bahkan, Rasyid Ridha telah menuduhnya keluar dari Islam.
Benang merah yang dapat ditangkap dari pendapat ketiga orang di atas adalah hal terpenting dari kisah-kisah yang terdapat Al-Quran bukanlah wacana pelakunya, tetapi drama kehidupan yang mereka mainkan. Atas dasar ini pulalah, Muhammad Abduh mengkritik habis-habisan kebiasaan ulama tafsir generasi pertama yang banyak menggunakan Israiliyyat sebagai penafsir Al-Quran, terutama ketika menjelaskan para pelaku kisah.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut istilah, qashshashil qur’an ialah kisah-kisah dalam al-qur’an yang menceritakan ikhwal umat-umat dahulu dan nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau,masa kini dan masa yang akan datang. Di dalam al-qur’an banyak diceritakan umat-umat dahulu dan sejarah Nabi atau para Rasul serta ikhwal Negara dan perilaku bangsa-bangsa kaum dahulu. Macam-macam qashash yaitu, kisah hal-hal ghaib pada masa lalu, kisah hal-hal ghaib pada masa kini, kisah hal-hal ghaib pada masa yang akan datang. Beberapa faedah dari qashashil Quran yaitu meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya dalam menegakkan agama Allah, serta menguatkan kepercayaan orang-orang yang beriman melalui datangnyabpertolongan Allah dan hancurnya kebatilan beserta para pendukungnya, menjelaskan prinsip-prinsip dakwah dan pokok-pokok syariat yang dibawa setiap nabi, membenarkan nabi-nabi terdahulu dan mengingatkan kembali jejak-jejak mereka, memperlihatkan kebenaran Nabi Muhammad dalam penuturannya mengenai orang-orang terdahulu.


B. Saran
            Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekeliruan yang terdapat dalam penyusuanan makalah ini, baik dari segi penulisan maupun dalam pembasannya. Oleh karena itu, penulis memohon saran dan kritikannya yang bersifat membangun sehingga dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya dapat lebih sempurna.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon, Ilmu Tafsir, Cet.III; Bandung: Pustaka Setai, 2006
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Basri, Hasan, Horizon Al-Qur’an, dari judul asli Lea grands themes du Coran oleh Jasques Jomies Cet. I; Jakarta: Balai Kajian Tafsir Al-Qur’an Pase, 2002
Chitjin, Muhammad, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an; Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.
Hanafi, Segi-Segi Kesusesteraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an; Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984.
Husayn, Muhammad al-Khidr, Balaghat Al_Qur’an, Ali al-Ridha al-Tunisi, 1971.
Ibrahim, Muhammad Ismail, Mu’jam al-Alfazh waA’lam al-quraniyyat, Dar al-Fikr-al-a’rabi, 1969
Al- Ishfahani, Al-Raghib, al-mufradat fi Gharib al-Qur’an, ed. Muhammad Sayyid Kaylani, Mesir: musthafa al-Bab al-Halab,t.t.
Poewarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Al-Qattan, Manna khalil, Mahabis fi Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-Asr al-Haidis, 1973.
Qutb, Sayyid, Seni Penggambaran dalam Al-Qur’an, terjemah Chadidjah Nasution;
Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981.
Said, M, Tarjamah Al-Qur’an al Karim, Crt.I; Bandung: PT Alma’arif, 1987.
1. Manna Khalil al-Qatta, Manahis fi Ulum al-Qur’an, (Mansyurat al-Asr al-Haidis, 1973), h. 305
2. M. Said, Tarjamah Al-Qur;an al Karim, (Cet. I; Bandung: PT. Alma’arif, 1987), h. 62.
3. Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfazh waAlam al-Qur’anniyat,(Dar al-Fikr-al’Arabi,1969), h.140
4. Manna Khalil al-Qattan, op.cit.,h.305
5. M. Said, Tarjamah, Op, cit., h. 272
6. Ibid., h. 350
7. Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 512.
8. Al-Raghib al Isfahani, al Mufradat Fi Gharit al Qur’an, ed. Muhammad Sayyid Kailani, (Mesir: Mustafa al Bab al Halabih), t.t.,h. 404.
9. M. Said, Op. Cit., h. 224.
10. Ibid., h. 150.
11. Hasan Basri, Horizon al Qur’an, dari judul asli Les Grens Themes Du Coran oleh Jacquis Joner ( Cet. I; Jakarta: Balai Kajian Tafsir al Qur’an Pase, 2002), h. 80.
12. Muhammad al Khidir Husain, Balogat al Qur’an, (Ali al Rida al Tunisi, 1971), h. 104
13. Manna Khalil al Qattan, Op. Cit., h. 306
14. Hasan Basri, Op. Cit., h. 82
15. Hanafi, Segi-segi Kesusesteraan pada Kisah-kisah al Qur’an, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1984), h. 1516.
16. Ibid, h. 74.
17. Rosihan Anwar, Op. Cit,. h. 67-72.
18. Muhammad Chirjin, al Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1989), h. 11.
19. Menjelaskan ketinggian kualitas al-Qur’an.
20. Ibid, h. 30.
21. Nasruddi Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.230.
22. Sayyid Qutb, Seni Penggambaran dalam al Qur’an, Terjemah Khadijah Nasution (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981), h. 138.
23. Muhammad Chirjin, Op. Cit,. h. 120-121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar