Rabu, 03 Juli 2019

Makalah Perbedaan NU dan Muhammadiyah

BAB I
PENDAHULUAN
Nusantara adalah sebuah wilayah yang sangat besar, dengan kekayaan yang melimpah ruah, wilayah agraris serta maritim yang sangat kaya akan sumber daya alam. Penduduk yang sangat ramah serta keterbukaan dalam menerima pendatang, sehingga wilayah nusantara menjadi daerah rebutan negara – negara adi kuasa, baik barat, maupun timur yang memiliki peradaban yang jauh lebih maju dari pada nusantara. Maraknya kolonialisme serta imperialisme menjadi faktor utama perjalanan misi glory, gold, dan gospel.
Latar belakang penduduk yang masih tertinggal, menjadi faktor kelemahan masyarakat nusantara, sehingga misi para negara adi kuasa berjalan dengan baik, dengan prinsip glory dan gold. Perjuangan para penduduk yang kuat, dengan prinsip kesatuan nusantara untuk membangun negara sendiri sangatlah kuat. Kegigihan para pahlawan dengan niat yang kuat, memberikan perlawanan kepada para kaum kolonialis.
Dalam perintisan negara kesatuan ini, tak terlepas dari beberapa pihak yan mendukung serat bersatu untuk membangun negeri tercinta. Maka lahirlah pergerakan serta organisasi dengan tujuan membangun negeri. Islam yang pada saat itu hampir menguasai bidang religi nusantara tak tinggal diam dalam pembangunan negeri. Mereka ikut andil dalam mendukung misi ini dengan mendirikan pergerakan dan organisasi dengan dengan prinsip kesatuan ukhuwah islamiyah, yang di antaranya,  Muhammadiyah, Nahdlatul ‘Ulama (NU) serta masih banyak lagi pergerakan dan organisasi yang lahir baik dari kalangan muslimi, nasionalis, pelajar dsb.
Islam sebagai agama mayoritas tentunya memiliki peranan serta gerakan penting dalam membawa kemajuan negeri. Berdasarkan paparan di atas maka  penulis berusaha untuk merumuskan masalah, yaitu (1) Bagaimana sejarah dan pergerakan organisasi Muhammadiyah, (2) Bagaimana sejarah dan pergerakan organisasi Nahdlatul ‘Ulama (NU), dan (3) Apa saja pembeda sudut pandang Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama (NU)


BAB II
PEMBAHASAN

A. Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi besar umat yang ada di Indonesia sampai saat ini. Organisasi muhammadiyah merupakan organisasi sosial islam yang berdiri pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, di Yogyakarta atau pada tanggal 18 November 1912 M. Organisasi ini dipelopori oleh K.H Ahmad Dahlan atas saran murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan lembaga pendidikan yang bersifat permanen. 
Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis. Bapaknya adalah seorang pegawai masjid Kesultanan (Khatib) dan ibunya adalah anak seorang Penghulu yang bernama Haji Ibrahim. Bapaknya bernama K.H Abu Bakar bin Kyai Sulaiman.  Sewaktu kecil ia belajar agama (mengaji) dengan menggunakan sistem lama di pesantren yang biasa ditemui pada waktu itu. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada ilmu Nahwu, Fiqh, dan Tafsir di daerahnya, ia melanjutkan belajar ke Mekkah pada tahun 1890. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib.
K.H Ahmad Dahlan berasal dari keluarga yang berpengaruh dan terkenal dilingkungan kesultanan Yogyakarta, yang secara genealogis ditelusur akan sampai pada Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi.   Didirikannya Muhammadiyah oleh K.H Ahmad Dahlan merupakan hasil pengalamannya aktif di organisasi Budi Utomo, Jamiat Khair, dan Sarekat Islam. Beliau mengamati bahwa belum ada organisasi masyarakat pribumi yang berorientasi pada gerakan modernisme islam.  K.H Ahmad Dahlan merumuskan tujuan pendirian Muhammadiyah yakni “Menyebarkan Pengajaran Nabi Muhammad SAW kepada Penduduk Bumiputra dan memajukan Agama islam kepada anggotanya”. Sejak Kelahirannya Muhammadiyah menetapkan Khittah (garis perjuangan) untuk bergerak dibidang dakwah,sosial,dan pendidikan. Karena itu Ahmad Dahlan berusaha mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan Tabligh, mendirikan masjid, serta menerbitkan buku, brosur, surat kabar, dan majalah. Inti dari cita-cita Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah adalah memurnikan ajaran islam dari praktek menyimpang yang tidak terdapat dalam Alqur’an dan Sunah Nabi SAW.
Organisasi Muhammadiyah dalam tahun-tahun awal tidak mengadakan pembagian tugas yang jelas diantara anggota pengurus sekurang-kurangnya sampai tahun 1917, ruang gerak kegiatan organisasi ini masih sangat terbatas pada daerah kauman Yogyakarta dan sekitarnya. Dan barulah setelah tahun 1917, organisasi ini mempunyai daerah operasi yang lebih luas. Di Jawa, Muhammadiyah begitu cepat tersebar disebabkan juga oleh kegiatan misionaris Kristen. Di bidang sosial, Muhammadiyah juga mencontoh kegiatan misionaris Kristen seperti mendirikan rumah yatim Piatu, merawat fakir miskin, dan membangun klinik kesehatan yang bermanfaat langsung bagi masyarakat. Dan meluasnya keanggotaan Muhammadiyah didukung faktor lain seperti cara dakwah Muhammadiyah yang cenderung toleran.  Cara tersebut sungguh cara yang cerdik yang dilakukan oleh Ahmad Dalan dalam menyerbarkan paham darinya melalui cara seperti misionaris Kristen ini. Karena pada tahun-tahun berikutnya Muhammadiyah diketahui membangun cabang-cabang di luar pulau jawa khususnya di Minangkabau.
Faktor lain yang mendukung tersebarnya Muhammadiyah adalah tablig-tablig/dakwahnya mengarah langsung ke amal perbuatan ditengah tengah masyarakat yang lebih luas sehingga dapat menarik para patriot dan memberikan dasar-dasar bagi setiap jiwa pada saat itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada saat itu sedang hebatnya reaksi pemerintah Hindia belanda, Muhammadiyah dapat menarik kelompok intelektual, yang biasanya hanya tertarik oleh gemerlapnya teori belaka.
Suatu bagian yang sangat penting dalam suatu organisasi Muhammadiyah adalah majelis Tarjih yang terbentuk pada tahun 1927 melalui utusan kongres organisasi tersebut di pekalongan. Fungsi dari majelis ini adalah memberikan fatwa atau menjelaskan hukum masalah-masalah yang sering menjadi pertikaian. Fatwa yang dikeluarkan majelis Tarjih tidak langsung  disampaikan kepada masyarakat dan tidak pula masyarakat Muhammadiyah sendiri, namun lebih dahulu disampaikan kepada pimpinan pusat dari organisasi untuk melaksankannya.
Perkembangan organisasi Muhammadiyah sampai pada tahun 1935 telah mempunyai 110 cabang dengan anggota kurang lebih 250 ribu orang anggota. Dan hingga sekarang organisasi Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi yang mempunyai andil besar dalam dunia pendidikan di negeri Indonesia dengan berhasilnya membangun prasarana pendidikan dari tingkat Taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, SLTP, SMU, dan Perguruan Tinggi atau Akademi. Disamping itu, juga mempunyai berbagai macam sarana sosial seperti Rumah Sakit, Yayasan Yatim Piatu, dan sebagainya.
Dengan demikian, organisasi Muhammadiyah selalu menunjukan adanya grafik peningkatan dalam berbagai keberhasilan yang tekah diraih dalam rangka ikut serta membangun umat dan mengisi pembangunan bangsa dinegeri Indonesia.
B. Nahdlatul ‘Ulama (NU)
Nahdhatul ‘Ulama (Ar : Nahdhah al –‘Ulama = Kebangkitan Ulama). didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. atau tanggal 26 Januari 1926 di Surabaya atas prakarsa KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah; Disingkat NU.
Disamping di bantu oleh KH Wahab Hasbullah, dalam mendirikannya KH Hasyim Asy’ari juga dibantu oleh ulama-ulama lain diantaranya yaitu  :
a. K.H. Bisri Jombang
b. K.H. Ridwan Semarang
c. K.H. Nawawi Pasuruan
d. K.H. R. Asnawi Kudus
e. K.H. R. Hambali Kudus
f. K. Nakhrowi Malang
g. K.H. M. Alwi Abdul Aziz
h. K.H. Doromuntaha Bangkalan dan lain-lain.
Nahdhatul Ulama Lahir dengan melalui proses yang panjang. Secara organisatoris, hal ini dimulai ketika para tokoh islam pesantren, Wahab Hasbullah dan Mas Mansur mendirikan madrasah yang bernama Nahdhatul Wathan pada 1916 di Surabayaya. Staff pengajar Nahdhatul Wathan didominasi oleh ulama pesantren, seperti Bisri Syansuri (1886-1980), Abdul Hakim Lei Munding dan Abdullah Ubai (1899-1938). Pada 1918, Abdul Wahab Hasbullah dan K.H Ahmad Dahlan dari Kebondalem mendirikan Tashwirul Afkar, yaitu sebuah forum diskusi ilmiah keagamaan yang mempertemukan kelompok pesantren dan modernis. Pada tahun yang sama Abdul Wahab Hasbullah bersama K.H Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah koperasi dagang yang bernama Nahdhatul Tujjar. Hanya saja memasuki tahun 1920-an, kebersamaan dan upaya saling pengertian antara kelompok islam pesantren dan modernis berubah menjadi persaingan yang mengelompok.
Menjelang kelahiran NU, ditingkat internal umat islam Indonesia telah terbentuk forum formal kongres Al-Islam, yang berfungsi untuk mempertemukan para tokoh Islam di Indonesia. Pada 1921 para Ulama menyelenggarakan kongres Al-Islam di Cirebon untuk mengurai persoalan khilafiah sehingga diharapkan tercipta iklim yang lebih sejuk. Kemudian pada bulan Desember 1922 kongres Al-Islam kedua digelar di Garut menyusul kemudian kongres luar biasa Al-Islam di Surabaya pada 1924. Diantara tokoh-tokoh Islam yang intens mengikuti pertemuan-pertemuan tersebut adalah HOS. Tjokroaminoto,
K.H Abdul Wahab Hasbullah, K.H Mas Mansur, H. Agus Salim, K.H Abdul Halim Majalengka, K. Sangadji, R. Wondoamiseno, dan lainnya. Sebelum kongres luar biasa berlangsung, K.H Abdul Wahab Hasbullah menyatakan Mundur dari kepanitiaan. 
Kelahiran NU tidak terlepas dari adanya reaksi terhadap situasi umat islam ketika itu, pada permulaan abad ke-20 umat islam mengalami kegoncangan akibat kekalahan Turki Utsmani pada perang Dunia 1 yang dipandang sebagai kejatuhan dunia islam. Hal ini terjadi karena kekuasaan sultan Turki sebagai Khalifah umat islam itu telah diakui keberadaannya oleh semua wilayah islam termasuk Indonesia. Kegoncangan umat islam ini diperburuk lago oleh keputusan Majelis Nasional Agung Turki yang menghapuskan Kekuasaan Sultan pada tahun 1922 dibawah pimpinan penguasa Turki yang baru, Mustafa Kemal Ataturk. Dalam keadaan itu pengikut gerakan Wahabi dibawah pimpinan Ibnu Sa’ud berhasil menguasai wilayah Hejaz. Gerakan ini, dengan tujuan memurnikan paham tauhid umat islam, telah memusnahkan semua yang dipandangnya menimbulkan bid’ah dan khurafat. Disamping menentang taklid kepada pendapat imam-imam madzhab dan menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap umat islam, termasuk umat islam Indonesia, terutama terhadap para ulama yang kuat berpegang pada tradisi dan melestarikan ajaran bermadzhab.
Ketika itu di Indonesia muncul pula gerakan-gerakan keagamaan yang dikenal dengan gerakan pembaru, sebagai akibat dari pengaruh pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dari Saudi Arabia dan Muhammad Abduh di Mesir. Berkembangnya gerakan yang bersemboyan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah ini dirasakan oleh para Ulama tradisional sebagai “ancaman” terhadap kelestarian tradisi Ahlusunah Waljamaah.
Pada tanggal 31 Januari 1926 bertepatan tanggal 16 Rajab 1344 H, Komite Hejaz mengadakan rapat dirumah K.H Abdul Wahab Hasbullah yang dihadiri oleh Ulama-Ulama terkemuka. Pertemuan tersebut membicarakan perkembangan dunia islam mutakhir hingga memikirkan langkah bersama untuk mempertahankan kepentingan masayarakat islam pesantren. Mereka kemudian memutuskan K.H Asnawi sebagai utusan para ulama untuk menghadiri Muktamar dunia islam di Mekkah. Rapat juga memutuskan untuk sepakat mendirikan organisasi yang diberi nama Nahdhatul Ulama.
Tujuan Nahdhatul Ulama (NU) seperti tersebut dalam Anggaran Dasar Tahun 1926 (sebelum menjadi partai politik) adalah perkumpulan sosial keagamaan yang mementingkan pendidikan dan pengajaran agama islam. Dalam ikut serta mempertinggi kecerdasan masyarakat Indonesia dan menggembleng budi pekertinya, NU mendirikan beberapa Madrasah ditiap-tiap cabang dan ranting. Pada masa pemerintahan Belanda dan penjajahan Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren, mengadakan dakwah dan pengajian-pengajian dan lain-lainya. NU juga bergerak dalam bidang lainnya seperti di bidang pendidikan, bidang sosial dan di bidang ekonomi.
Sejak berdirinya sampai tahun 1989, NU sudah 28 kali melaksanakan muktamar. Muktamar pertama dilaksanakan pada tanggal 21-23 September 1926 di Surabaya. Keputusan utama di antaranya adalah memantapkan diri sebagai pembela paham Ahlussunah Waljamaah.  Untuk memperkuat perjuangan umat islam, NU bersama-sama organisasi Islam lainnya, seperti Muhammadiyah, mengambil keputusan untuk membentuk partai politik Indonesia dalam wadah Masyumi.  Dari situlah awal dari berubahnya NU dari hanya organisasi keagamaan menjadi organisasi politik juga.
Dalam perkembangann Selanjutnya NU sekarang ini merupakan organisasi sosial keagamaan. Namun, sebagian dari tokoh-tokohnya masih merupakan orang-orang yang aktif dalam kegiatan politik secara tersebar.
C. Perbedaan Sudut Pandang Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama (NU)
Secara garis besar perbedaan sudut pandang Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama (NU) adalah sebagai berikut
Persoalan NU Muhammadiyah
Aqidah (keduanya masih dalam bingkai ahlu sunnah) Mengikuti paham Asy’ariah/maturidiah Mengikuti paham salaf/wahabi* (ibn Taymiah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnqayyim)
Fiqh Keharusan mengikuti salah satu madzhab (terutama syafi’i) Langsung kepada Al-Quran dan Sunah, dan tarjih ( memilih pendapat terkuat)
Tasauf/tarikat Menerima tasauf, dan tariqah yang mu’tabar (diakui) Menolak tasauf dan tariqah ( tapi banyak yang apresitif secara individual dan selktif misal HAMKA dengan tasauf modern-nya)
Pemikiran yang dominan Pemikir klasik : Asy’ar, Al-Ghazali, Nawawi, dll Ibn Taymiah, Muhamad bin Abdul Wahab, Ibn Qayyim, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha


BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka penulis dapat menarik tiga kesimpulan, yaitu :
1. Muhammadiyah merupakan organisasi sosial islam yang berdiri pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, di Yogyakarta oleh K.H Ahmad Dahlan.
2. Nahdhatul ‘Ulama merupakan organisasi sosial islam yang berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H  di Surabaya atas prakarsa KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah.
3. Perbedaan sudut pandang Muhammadiyah dan NU terdapat pada perbedaan pemikiran terkait aqidah, fiqh, tasauf/tariqat dan pemikiran tokoh yang dominan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar