Rabu, 10 Juli 2019

Metodologi Kebudayaan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengalaman Agama
Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata “Agama” pada umumnya; berdasarkan Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari kata A-GAM-A, awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti “pergi atau berjalan, sedangkan akhiran A bersifat menguatkan yang kekal, dengan demikian “agama: berarti pedoman hidup yang kekal” Berdasarkan kitab, SUNARIGAMA yang memunculkan dua istilah; AGAMA dan UGAMA, agama berasal dari kata A-GA-MA, huruf A berarti “awang-awang, kosong atau hampa”, GA berarti “genah atau tempat” dan MA berarti “matahari, terang atau bersinar”, sehingga agama dimaknai sebagai ajaran untuk menguak rahasia misteri Tuhan, sedangkan istilah UGAMA mengandung makna, U atau UDDAHA yang berarti “tirta atau air suci” dan kata GA atau Gni berarti “api”, sedangkan MA atau Maruta berarti “angin atau udara” sehingga dalam hal ini agama berarti sebagai upacara yang harus dilaksanakan dengan sarana air, api, kidung kemenyan atau mantra.
Agama bertitik tolak dari adanya suatu kepercayan terhadap suatu yang lebih berkuasa, lebih agung, lebih mulia dari pada makhluk. Agama berhubungan dengan masalah ketuhanan, dimana manusia yang mempercayainya harus menyerahkan diri kepada-Nya, mengabdikan diri sepenuhnya karena manusia mempercayainya, ada 4 ciri yang dapat kita kemukakan yaitu :
Adanya kepercayaan terhadap yang ghaib, kudus dan Maha Agung dan pencipta alam semesta (Tuhan).
1. Melakukan hubungan dengan berbagai cara seperti dengan mengadakan upacara ritual, pemujaan, pengabdian dan do'a.
2. Adanya suatu ajaran (doktrin) yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya.
3. Ajaran Islam ada Rasul dan kitab suci yang merupakan ciri khas daripada agama.
4. Agama tidak hanya untuk agama, melainkan untuk diterapkan dalam kehidupan dengan segala aspeknya.
Fungsi Agama
Sumber Kehidupan Untuk  Individu Mapun Kelompok
Hubungan Menyesuaikan Prosedur Manusia Dengan Tuhan Dan Manusia Dengan Manusia.
Persyaratan Prinsip Benar Atau Salah
Pedoman Mengungkapkan Rasa Kebersamaan
Pedoman Merasa Percaya Diri Adanya Pedoman
Estetika Pengungkapan (Kecantikan)
Pedoman Untuk Rekreasi Dan Hiburan
Memberikan Identitas Kepada Orang-Orang Sebagai Orang Beragama.
Unsur-Unsur Agama
Menurut Keller, Calhoun Dan Leight, Agama Memiliki Beberapa Unsur Pokok:
1. Keyakinan Agama, Yang Merupakan Prinsip Yang Dianggap Benar Tanpa Keraguan
2. Simbol-Simbol Keagamaan, Yaitu Identitas Agama Yang Dianut Masyarakat.
3. Praktik Keagamaan, Hubungan Vertikal Antara Manusia Dengan Tuhan, Dan Hubungan Horizontal Atau Hubungan Antarumat Beragama Sesuai Dengan Ajaran Agama
4. Pengalaman Religius, Berbagai Bentuk Pengalaman Keagamaan Yang Dihadapi Oleh Penganut Pribadi.
5. Orang Yang Religius, Para Pengikut Agama.
B. Keislaman Dan Keindonesiaan
Mengiringi krisis ekonomi tahun 1997-1998 dan kekecewaan para mahasiswa dan berbagaielemen bangsa atas rapuhnya moralitas dan hegemoni struktural dan kultural yang cenderung bersifat homogenisasi dan standardisasi regim Orde Baru, Indonesia seolah-olah memasuki babak baru sejarah memperbaharui keIndonesiaan. “Umat Islam” yang sudah majemuk sejak sangat lama secara orientasi keagamaan, budaya, bahasa, sosio-ekonomik, dan politik, pun bergerak lagi, memunculkan kemajemukan yang lebih terbuka dan vokal di ranah publik. 
Diantara mereka, ada yang menekankan penyamaan karena yang mereka lihat kebebasan dankemajemukan yang tidak terkendali; ada juga yang menitikberatkan kesamaan-kesamaan danmenganggap perbedaan-perbedaan harus dipinggirkan karena cenderung memecah belah; ada pula yang menyuarakan persamaan dan perbedaan sebagai dimensi positif dan konstruktif.Sekarang, titik balik (turning point ) sejarah itu sudah terlewatkan lebih dari sepuluh tahun, dan berbagai elemen masyarakat, termasuk yang menganggap diri mereka sebagai bagian dari umatIslam, masih terus mencari makna Islam di tengah keIndonesiaan, lokalisasi dan globalisasi: bagaimana menjadi manusia Muslim (being Muslim), dan menjadi manusia Indonesia (being  Indonesian). Sebagian juga mencoba menemukan kembali (reinvent) identitas lokal: menjadiJawa, menjadi Aceh, menjadi Papua, dan sebagainya. Pencarian dan penegasan kembali berbagai identitas (agama, suku, bangsa, jender, kelas sosial, ideologi politik) berlangsungsebagai respons terhadap tantangan-tantangan baru. Dalam wacana global, ada citra umat Islamdi Indonesia yang toleran, demokratis, dan akomodatif terhadap Budaya-budaya lokal, tapi disini lain, sebagian umat Islam terlibat aksi kekerasan dan terorisme, memiliki dan menganjurkanideologi kekerasan, dan masih terlibat dalam tindak pidana korupsi dan penyakit-penyakit moral.
C. Tradisi Muludan
Maulid Nabi Muhammad SAW terkadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد، مولد النبي‎), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang dalam tahun Hijriyah jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal. Kata maulid atau milad adalah dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.
hukumnya memperingati maulid Nabi r ?
Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjawab:
1. Malam kelahiran Rasulullah r tidak diketahui secara qath’i (pasti), bahkan   sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi’ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad r yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi’ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.
2. Di lihat dari sisi syar’i, maka peringatan maulid Nabi r juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi rdisyari’atkan dalam agama kita, maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi r atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .
Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi r tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama, berarti  kita tidak diperbolehkan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan maulid Nabi r tersebut.
Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh  Rasulullah r, maka bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah?. Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah membuat syari’at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya. Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta’ala :
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha’i islam itu jadi agama bagimu“. Q.S; Al-Maidah : 3.
Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan sebelum Rasulullah r meninggal dunia. Dan jika ia bukan bagian dari kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama, karena Allah ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu“.
Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama), berarti ia telah membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) sesudah wafatnya  Rasulullah r, dan pada perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3) .
Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan maulid Nabi r, pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan (mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW, serta menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta kepada Rasulullah r termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi r melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia. Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan) Rasulullah rtermasuk dari ibadah. Dan juga yang termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam mengamalkan syari’at Nabinya r.
D. Tradisi Halal Bihalal
Secara bahasa, halal-bihalal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di    tempat umum, para jama’ah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan du sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia”
Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fithri [2]. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
E. Dzikir
               Pengertian dzikir menurut bahasa berasal dari kata dzakaro yang artinya ingat. Kata dzikir mengambil dari masdarnya dzikron, kemudian terkenal dengan istilah dzikir. Sedangkan dzikir menurut syara’  adalah ingat kepada Allah dengan etika tertentu yang sudah ditentukan dalam Al Qur’an dan Hadits dengan tujuan mensucikan hati dan mengagungkan Allah. Allah sudah menunjukkan dasar pokok bahwa dzikir mampu menentramkan hati manusia. Hanya dengan dzikirlah hati akan menjadi tentram, sehingga tidak timbul nafsu yang jahat. ” Ingatlah hanya dengan berdzikir kepada Allah hati akan menjadi tentram ” (QS. 13 : 28).
Dzikir Menurut Imam Nawawi Al BAntaniyu Penulis kitab Al Adzkar, menjelaskan dalam kitabnya bahwa dzikir bisa dilakukan dengan lisan dan hati. Tingkatan dzikir akan menjadi lebih sempurna jika melakukannya denga hati dan lisan. Jika harus memilih, mana yang lebih utama, menurutnya, harus dengan hati saja, namun akan lebih afdhol (utama) jika melakukannya dengan hati dan lisan sesuai dengan sunah Rosulullah. Beliau masih berpegang teguh bahwa dzikir lebih utama dilakukan dengan keduanya sebab dikhawatirkan akan muncul penyakit riya’ jika dilakukan dengan hati saja (Adzkar : 06).
Pengalaman para mutashawwiyn, dzikir dengan hati disebut dzikir sirr. Untuk mencapai dzikir sirr (rahasia) harus melalui tahap dzikir bil lisan, kemudian dengan sendirinya dzikir dengan hati saja berjalan sesuia dengan letupan rasa dan pikiran menguasai jiwa raganya. Allah SWT memberikan dasar dalam firman-Nya : ” Ingatlah kepada-Ku, maka aku akan ingat kepadamu “
F. Tahlilan
Secara lughah tahlilan berakar dari kata berbahasa arab yakni hallala yuhallilu tahlilan artinya adalah membaca/mengucap kalimat "Laa ila ha illallah" makna inilah yang dimaksud dengan pengertian tahlilan. Dikatakan sebagai tahlil, karena memang dalam pelaksanaanya lebih banyak membaca kalimat-kalimat tahlil yang mengesakan Allah seperti bacaan tahlil (Laa ila ha illallah) dan lain sebagainya sesuai dengan tradisi masyarakat setempat atau pemahaman dari guru (syekh) suatu daerah tertentu. Pada pelaksanaan tahlilan selain bacaan tahlil (Laa ila ha illallah) ada juga bacaan tasbih (Subhanallah),tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allahu akbar), sholawat (Allahumma sholli‘ala syaidina Muhammad), serta beberapa ayat Al-Qur'an seperti QS.Yaasin, QS. Al-Baqarah : 1-5, 163, 255, 284-286, dan lain sebagainya yang bagi umat muslim dianggap memiliki fadhilah dan syafaat.Sebagian muslim sering mengamalkanya dalam segala macam acara,bahkan dalam resepsi (sebelum atau sesudah akad nikah) tidak meninggalkan amalan tahlilan ini.[1] Dengan kata lain, dalam tahlilan menggunakan bacaan-bacaan (doa) tetentu yang mengandung banyak keutamaan (fadhilah). Fenomena yang terlihat di masyrakat, penyebutankata tahlilan umumnya dipakai untuk persembahan yang dikelompokan menurut jenis, maksud,dan suasananya.
Ketika dipakai untuk peristiwa gembira (kemenangan) tahlilan disebut sebagai syukuran, ketika dipakai untuk peristiwa sedih (kematian), ketika dipakai untuk meminta perlindungan (pindah rumah, menempati kantor/rumah baru, awal membuka usaha dll.) disebut selamatan, dan ketika dipakai untuk meminta sesuatu (menghasratkan sesuatau) disebut hajatan. Selain itu tahlilan juga dilaksanakan pada acara-acara tertentu seperti saat seseorang akan pergi jauh dan dalam waktu yang cukup lama (pergi haji, merantau belajar, atau bekerja diluar negeri), acara pertemuan keluarga seperti arisan keluarga maupun halal- bihalal, dan khitanan. Tradisi tahlilan dalam masyrakat Jawa juga sering disebut dengan kata sedekah (sedekahan, karena dalam setiap kegiatannya diangggap selalu memberikan sedekah (pemberian) baik bagi mereka yang datang berkunjung atau bagi pemilik hajat. Jadi masing-masing saling bersedekah (memberi) dalam bentuk barang atau pun berupa dukungan moral yang sangat mereka harapkan. Dukungan moral diantara mereka secara psikologis dapat saling memberi motivasi. Dalam kenyataan istilah syukuran, hajatan dan sedekah sulit dibedakan, mereka lebih sering menggunakan kata tahlilan.
  Hakikat Tahlil Berdasarkan Pendapat Ulama Muhammadiyah

Para ulama Muhammadiyah menganggap bahwa tahlilan yangdilakukan oleh umat islam untuk mendo’akan orang yang telah meninggal adalah sesuatu yang bid’ah, karena menurut mereka masalah tahlilan itu tidak ada dalil yang kuat yang dijelaskan dalam Al-Quran, namun para ulama Muhammadiyah tidak mengharamkan pelaksanaan tahlilan tersebut.

Menurut ulama Muhammadiyah bahwa seorang yang telah meninggal dunia maka segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia yang masih hidup adalah putus tidak ada kaitan lagi, karena sudah terdapat perbedaan alam yaitu orang yang meninggal ada di alam barjah, sedangkan orang yang belum meninggal ada di alam dunia.

  Hakikat Tahlil Berdasarkan Pendapat Ulama Nahdatul Ulama (NU)

Kaum muslimin  Nahdatul Ulama (NU) mengakui bahwa tahlilan tidak ada dalil yang menguatkan dalam Al-Quran maupun hadis, namun kenapa mereka masih melaksanakan acara tahlilan tersebut karena kaum muslimin Nahdatul Ulama mempunyai pendapat lain bahwa tahlilan dilaksanakan dikeluarga yang meninggal mempunyai tujuan-tujuan tertentu di antaranya adalah sebagai berikut :

1).Tahlilan dilakukan untuk menyebar syiar islam, karena sebelum dilakukantahlilan seorang imam melakukan ceramah keagamaan.
2. Isi dari tahlilan adalah dzikir dan do’a dengan kata lain melaksanakan tahlilan berarti mendo’akan kepada yang meninggal dunia.
3). Menghibur keluarga yang ditinggalkan dengan kata lain, kaum muslimin yang berada di sekitar rumah yang ditinggal, maka terjalinlah silaturahmi diantara umat islam.[4]
G. Yasinan
Yasinan adalah membaca surat Yasin, baik sendirian atau bersama-sama. Dalam kebersamaan ini bisa membacanya sendiri-sendiri atau membacanya secara kor (berjamaah). Motif yang mendasarinya adalah  keyakinan bahwa pahala bacaan dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal,  untuk mengiringi proses kematian seseorang (keadaan sakit kritis yang diperkirakan kuat menuju kematian atau dalam keadaan sakaratul maut agar yang dibacakannya ini cepat sembuh atau segera matisecara mudah atas dasar kasih sayang Allah dan yang  melihatnya merasa kasihan terhadap  penderitaan yang sedangsakaratul maut ini, atau dikirimkan kepada orang yang masih hidup tetapi diperlakukan seperti orang yang sudah meninggal, seperti orang pergi haji. Selama haji ia diupacarai yasinan pada hari pertama dari pemberangkatannya hingga hari ke tujuh yang selanjutnya setiap malam Jumat hingga yang bersangkutan kembali sampai di rumah dengan selamat. Upacara Yasinan hampir selalu menyatu dengan tahlilan.
Ritus yasinan untuk orang mati dilaksanakan sejak hari pertama hingga hari ke tujuh selanjutnya pada hari ke 40, hari ke 100, ulang tahun kematian pertama, ulang tahun kematian ke dua, hari ke 1000, dan selanjutnya setiap satu tahun sekali pada hari kematiaanya sejauh dikehendaki. Karena kerabat yang ditinggal mati memiliki kelebihan ekonomi dan tanggungjawab moral sebagai pelaksanaan ajaran birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua), yasinan dilakukan selama 40 hari sejak hari pertama kematian orang tua atau kerabatnya
Ritus Yasinan bagi warga NU atau para simpatisannya biasa dilaksanakan dalam pertemuan rutin antar warga dalam lingkup RT atau RW, dalam jamaah mushalla, dalam jamaah suatu masjid yang waktunya ditentukan atas dasar kesepakatan warga. Pelaksanaan yasinan dapat pula berganti tempat secara bergilirin diantara warga.
Para pendukung yasinan bisa hafal, setengah hafal, membacanya sangat lancar karena amat sering mengikuti acara ini atau memang menyiapkan diri untuk menghafalnya, namun demikian juga banyak diantara mereka yang hanya bisa membaca huruf latinnya. Sub kelompok ini biasanya tidak dari kecil memeluk agama Islam secara taat. Mereka sadar akan keislamannya setelah usia dewasa.
Mereka ini biasanya kurang menyadari eksistensi NU, Muhammadiya, atau kelompok sosial keagamaan yang lain.Mereka hanya tahu pokoknya Islam. Sebenarnya mereka bisa disebut muallaf, yang secara praktis perlu diperhatikan secara lebih dalam kehidupan sehari-harinya agar tetap istiqamah dalam ketaannya pada agama.
Muhammadiyah, terutama dari tingkat bawah, atau bahkan kaum terpelajarnya,umumnya tidak hafal atau tidak lancar membaca surat yasin. Ditinjau dari segi keterampilan membaca atau menghafal surat Yasin mereka jauh ketinggalan dibanding ikhwan mereka yang dari  NU.
Tradisi pembacaaan Yasinan merupakan tradisi lama yang masih dipegang oleh kalangan masyarakat Indonesia. Tradisi Yasinan ini begitu unik karena hanya ada di Indonesia dan Malaysia. Tradisi ini merupakan bentuk ijtihad para ulama untuk mensyiarkan Islam dengan jalan mengajak masyarakat agraris yang penuh mistis dan animisme untuk mendekatkan diri pada ajaran Islam melalui cinta membaca Al Qur’an, salah satunya Surat Yasin sehingga disebut sebagai Yasinan.
Yasinan dilakukan dalam waktu waktu tertentu misalnya malam Jumat yang dilaksanakan di masjid atau dirumah rumah warga secara bergiliran setiap minggunya. Selain pada malam Jum’at yasinan juga dilaksanakan untuk memperingati dan “mengirim” doa bagi keluarga yang telah meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseribu. Masyarakat mempercayai bahwa dengan membaca surat Yasin maka pahala atas pembacaan itu akan sampai pada si mayat. Ada pula acara Yasinan ini dilakukan untuk meminta hajat kepada Tuhan agar dipermudah dalam mencari rizki maupun meminta hajat agar orang yang sakit dan sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh karena tanda-tanda akan diakhirinya ke hidupan ini sudah jelas, maka surat Yasin menjadi pengantar kepulangannya ke hadirat Allah. Yasin sudah menjadi kebiasaan masyarakat bila salah satu keluarga ada yang sakit kritis. Surat Yasin dibaca dengan harapan jika bisa sembuh semoga cepat sembuh, dan jika Allah menghendaki yang bersangkutan kembali kepada-Nya, semoga cepat diambil oleh-Nya dengan tenang. 
Masyarakat melaksanakan tradisi ini karena turun temurun. Artinya tradisi ini merupakan peninggalan dari nenek moyang mereka, dimana Islam mengadopsinya sebagai bagian dari ritual keagamaan. Dari pelaksanaan tradisi ini maka ada makna yang lain selain dari arti ayat ayat yang dibaca secara bersama sama.
Sudah menjadi hal yang umum jika tradisi Yasinan digunakan sebagai Majelis taklim dan dzikir mingguan masyarakat dan sebagai media dakwah agar masyarakat menjadi lebih dekat dengan Tuhannya. Namun di sisi lain tradisi Yasinan bisa dimaknai sebagai forum silaturahmi warga, yang tadinya tidak kenal menjadi kenal, yang tadinya tidak akrab menjadi lebih akrab. Kegotong royongan, solidaritas sosial, tolong menolong, rasa simpati dan empati juga merupakan sisi lain dari adanya tradisi Yasinan. Kegotong royongan ketika mengadakan acara. Tolong menolong agar acaranya berjalan sesuai yang diharapkan. Rasa empati dan simpati ketika ada seseorang kerabatnya yang kesusahan atau kerababnya yang meninggal. Semua itu merupakan makna lain yang terkandung dalam tradisi Yasinan.
  Tradisi Yasinan juga dapat dipandang sebagai perekat hubungan sosial warga., ketika mengikuti acara Yasinan maka warga yang kemarin tidak kenal satu sama lain akan menjadi kenal. Dengan acara seperti ini dapat mempererat tali silaturahmi antar sesama warga. Disamping itu juga dengan keikutsertaan warga mengikuti acara Yasinan dapat menumbuhkan rasa empati dan simpati masyarakat untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang mengadakan acara Yasinan. Dalam persiapannya menyajikan makanan, para kaum perempuan dan laki-laki saling gotong royong untuk membuatkan masakan yang telah dibiyayai oleh tuan rumah yang memiliki hajat. Oleh karena itu acara Yasinan sangat berpengaruh terhadap solidaritas warga masyarakat, karena saling membantu satu sama lain.
Makna lain ialah nilai ekonomis, dimana dalam yasinan terkadang ada suguhan makanan baik berupa snack, makan, dan berkat yang dibawa pulang. Kadang juga ada yang memberikan sajadah dan diberi tulisan bahwa yasinan ini sebagai peringatan kematian anggota keluarga. Tentunya bagi warga ini merupakan kesempatan untuk mendapatkan pendapatan bagi keluarganya. Yang lebih unik lagi bagi yang mengadakan acara Yasinan, terkadang bila tidak ada uang untuk melaksanakan hal tersebut mereka rela menjual harta yang ada misal sawah, perhiasan atau ternak. Untuk memberi hidangan pun ada yang sampai menyembelih sapi walau saat hari raya qurban malah tidak pernah berqurban. Gotong royong dalam penyajian makanan pun menjani nilai ekonomis bagi masyarakat karena dapat mengurangi pengeluaran tenaga dan waktu.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Studi Islam meliputi kajian agama islam dan tentang aspek-aspek keislaman masyarakat dan budaya muslim. Menurut pendapat para ulama objek Studi Islam meliputi islam sebagai doktrin dari Tuhan, substansi ajaran-ajaran islam dan interaksi sosial. Adapun tujuan Studi Islam adalah sebagai wawasan normative, kontekstual, aplikatif dan konstribusi konkret terhadap dinamika dan perkembangan yang ada, mendapatkan gambaran tentang agama islam secara luas, mendalam namun utuh, dan dinamis.
Ada beberapa pendekatan Studi Islam antara lain, pendekatan historis, filosofis,ilmiah doktriner dan normatif. Selain itu terdapat metode studi islam yaitu, metode ilmu pengetahuan,diakronis,sinkronis-analistis, Problem Solving (hill al-musykilat),Empiris, Deduktif (al-Manhaj al-Isthinbathiyah), dan Induktif (al-Manhaj al-Istiqraiyah).


Daftar Pustaka
Naim Ngainun, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Syukur M.Amin dkk, Metodologi Studi Islam, Semarang: Gunung jati, 1998.
Nasution Khoirodin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia+ Tazzafa, 2009.
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Muhaimin dkk, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan Jakarta: Kencana, cet III, 2012
https://www.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar