Jumat, 28 Juni 2019

Metode-metode penelitian dengan pendekatan tafsir

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
     Al-qur’an Al-Karim adalah sebuah kitab yang tidak datang kepadanya kebatilan dari awal sampai akhirnya yang diturunkan oleh Allah Awt yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Kitab yang mendapatkan keistimewaan, yaitu yang mampu mencetak ulama islam yang tahu dan mengerti tentang penafsiran nas-nas Al-qur’an dan ulama yang mengamalkan hukum-hukum tersirat didalamya, demi kemaslahatan umat manusia didunia maupun diakhirat.
Terdapat berbagai macam sumber yang dijadikan sandaran oleh para ulama dan ahli tafsir untuk memahami ayat– ayat Al-qur’an. Mereka berusaha untuk mengetahui pemahaman secara detail dan bisa diungkapkan dengan kata- kata yang sesuai. Hal ini diupayakan agar pemahaman terhadap Al-qur’an bisa tercapai oleh setiap insan yang senang dengan Al-qur’an, agar mereka bisa membaca, memahami dan mengamalkan isi kandungan ayat- ayat Al-Qur’an yang mengajak kepada kebaikan dunia dan akhirat.
Kata model yang terdapat pada judul diatas berarti contoh, acuan, ragam atau macam. Sedangkan penelitian berarti pemeriksaan, penyelidikan yang dilakukan dengan berbagai cara secara seksama dengan tujuan mencari kebenaran- kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data- data yang terkumpul. Kebenaran- kebenaran objektif diperoleh kemudian digunakan dasar atau landasan untuk pembaharuan, pengembangan atau perbaikan dalam masalah- masalah teoritis dan praktis dalam bidang- bidang pengetahuan yang bersangkutan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tafsir dan fungsinya ?
2. Bagaimana latar belakang penelitian Tafsir?
3. Apa saja model-model penelitian Tafsir?



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir dan fungsinya
Tafsir berasal dari bahasa Arab yaitu fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata taf’il, diambil dari kata al fasr yang berarti al bayan (penjelasan ) dan al kasyf yang berarti membuka atau menyikap, dan dapat pula diambil dari kata al tafsarah, yaitu istilah yang digunakan untuk suatu alat yang biasa digunakan oleh dokter untuk mengetahui suatu penyakit.
Muhammad Husein Adz-Dzahabi dalam “Tafsir Wa Al Mufassirun” menerangkan arti etimologi tafsir dengan “al idhah (penjelasan) dan al bayan (keterangan)” makna tersebut digambarkan dalam QS. Al-Furqan ayat 33, sedangkan dalam kamus yang berlaku tafsir berarti “al ibahah wa kasyf mugtha”(menjelaskan atau membuka yang tertutup).
Selanjutnya pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar Al-qur’an tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-Jurjani misalnya, mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan ma’na ayat- ayat al-qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab al nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Sementara itu menurut Al- Imam Az Zarqani mengatakan, bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Al-qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Az Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah(Al-qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung didalamnya.

Dari beberapa definisi diatas dapat ditemukan tiga ciri utama tafsir. pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (Al-qur’an) yang didalamnya terkandung firman Allah. Kedua,dilihat dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan Al-qur’an sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan dan ajaran yang terkandung didalamnya. Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penafsiran, kajian dan ijtihad para mufassir yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali. Dengan demikian secara singkat dapat diambil suatu pengertian bahwa yang dimaksud model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan, atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Al-qur’an yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui secara pasti tentang hal yang terkait dengannya.

B. Latar Belakang penelitian tafsir
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah- kaidah bahasa serta arti-arti yang terkandung oleh satu kosa kata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat- ayat Al-qur’an sehingga bermunculanlah kitap atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-qur’an , yang keadaanya seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz dalam  Al naba’Al ‘azhim : ”bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut- sudut lain, dan tidak mustahil jika anda memersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari adanya upaya penafsiran Al-qur’an dari sejak zaman Rasulullah, hingga dewasa ini, serta adanya sifat dari kandungan Al-qur’an yang terus-menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan. Pertama, kegiatan penelitian disekitar produk-produk penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu, dan kedua, kegiatan penafsiran Al-qur’an itu sendiri.
Dilihat dari segi usianya penafsiran Al-qur’an termasuk yang paling tua dibandingkan kegiatan ilmiah lainnya dalam islam. Pada saat Al-qur’an diturunkan lima belas abad yang lalu, Rasulullah saw. Yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan Al-qur’an kepada sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat- ayat tidak dipahami atau sama artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafat Rasulullah Saw, walaupun diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasulullah Saw. Sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-qur’an. Maka setelah wafatnya mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibn Mas’ud.
Para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan diatas mempunyai murid- murid dari para tabi’in khususnya dari kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga lahirlah tokoh –tokoh tafsir yang baru dari kalangan tabi’in dikota tersebut. Seperti:
1. Said bin Jubair dan Mujahid bin Jabr, dikota Mekkah yang ketika itu berguru kepada Ibn Abbas.
2. Muhammad bin ka’ab dan Zaid bin Aslam, dikota Madinah yang ketika itu berguru kepada Ubay bin ka’ab.
3. Al-Hasan Al-Bashriy dan Amir Al- Sya’bidi Irak yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Gabungan dari ketiga sumber diatas yaitu penafsiran Rasulullah Saw, penafsiran para sahabat, dan penafsiran tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok yang selanjutnya dijadikan satu periode pertama dari perkembangan tafsir. Berlakunya periode pertama tersebut berakhirnya masa tabi’in sekitar tahun 150 H. dan merupakan awal dari periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir. Pada periode kedua ini, hadis-hadis palsu dan lemah ditengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan-perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad Saw, para sahabat, dan para Tabi’in.

C. Model-model penelitian Tafsir

A. Model Quraish shihab

H.M.Quraish Shihab (lahir tahun 1944) pakar dibidang ilmu tafsir dan hadis se-Asia Tenggara. Beliau telah banyak melakukan penelitian terhadap berbagai karya ulama terdahulu dibidang ilmu tafsir. Misalnya, telah meneliti tafsir karangan Muhamad Abduh dan H. Rasyid Ridha dengan judul “Study krisis Tafsir Al-Manar” yang diterbitkan dalam bentuk buku oleh pustaka hidayah pada tahun 1994. Model penelitian tafsir yang dikembangkan oleh H.M. Quraish Shihab lebih banyak bersifat eksfloratif, deksriptif, analitas dan perbandingan. Yaitu model penelitian yang berupaya menggalu sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan ulama-ulama tafsir terdahulu berdasarkan berbagai literature tafsir baik yang bersifat primer, yakni yang ditulis oleh ulama tafsir yang bersangkutan maupun ulama lainnya.
1.   Periodesasi pertumbuhan dan perkembangan tafsir
Menurut penelitian Quraish Shihab jika tafsir ini dilihat dari segi penulisannya perkembangan tafsir dapat dibagi dalan tiga periode. Periode pertama yaitu masa Rasulullah, sahabat dan permulaan tabi’in dimana tafsir belum tertulis secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode kedua bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101) dimana tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah tafsir bi Al- Matsur. Periode ketiga dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, oleh sementara ahli menduga dimulai oleh  Al-Farra (wafat 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani Al-qur’an.


2.    Corak penafsiran
Berdasarkan hasil penelitiannya Qurais Shihab mengatakan bahwa corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
a. Corak sastra bahasa, yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang arab dibidanf sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistemawaan dan kedalam arti kandungan Al-qur’an dibidang ini.
b. Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemaan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain kedalam islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.
c. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat Al-qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
d. Corak fiqih atau hukum, akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatanya berdasarkan penafsiran -penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
e. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap kecenderungan berbagai pihak terhadap materi atau sebagai konpensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
f. Bermula pada masa Syeih Muhanmad Abduh (1849-1905 M) corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.

3. Macam-macam metode penafsiran Al-qur’an
Menurut penelitian Quraish Shihab bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-qur’an. Metode penafsiran Al-qur’an tersebut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Corak Ma’tsur (Riwayat)
Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi Saw ditemukan bahwa pada dasarnya setelah gagal menemukan penjelasan Nabi Saw mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya Umar Bin Khattab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah : Auw ya’khuzuhum ‘ala takhauwwuf (Qs.16;47). Seorang arab dari kabilah Huzail menjelaskan artinya adalah “pengurangan”. Arti ini berdasar penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka untuk memahami Al-qur’an.
b. Metode Penalaran (Pendekatan dan corak- coraknya)
Pendekatan corak dan tafsir yang mengendalikan nalar sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya satu persatu.
Metode Tablily
Adalah suatu metode tafsir yang mufasinya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-qur’an dari berbagai seginya. dengan meneliti aspeknya dan meyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemmisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh Al-munasabat), dengan bantuan asbab an nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Saw., sahabat, tabi’in.  dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-qur’an sebagai mana tercantum  dalam mushhaf.kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosa kata ayar, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu.penafsiran menyangkut segala aspek yang dapat dikemukakan oleh mufasir dalam setiap ayat.
Metode Ijmali
Metode ijmali sering disebut juga dengan metode global adalah cara menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dalam praktiknya metode ini sering terintegrasi dengan metode tablily karena itu sering kali metode ini tidak dibahas secara tersendiri. Dengan metode ini seorang mufasir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besar saja.
Metode Muqarin (perbandingan/ komparasi)
Metode muqarin adalah suatu metode penafsiran Al-qur’an yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat Al-qur’an yang satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda,dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama dan atau membandingkan ayat-ayat Al-qur’an dengan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw., yang tampak bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran Al-qur’an.


B. Model Ahmad Al-Syarbashi
Pada tahun 1985 Ahmad Al-Syarbashi melakukan penelitian tentang tafsir dengan menggunakan metode deksriptip, eksploratif dan analisis sebagai mana hal yang dilakukan oleh Quraish Shihab. Sedangkan sumber yang digunakan adalah bahan-bahan bacaan atau kepustakaan yand ditulis oleh para ulama tafsir seperti Ibn Jar At-Thabari, Al-Zamakhsyari, Jalaludin Al-Asuyuti, Al-Raghib, Al-Ashafani, dan Haji Khalifah. Hasil penelitian itu mencakup tiga bidang yang pertama yaitu, mengenai sejarah penafsiran Al-qur’an yang dibagi kedalam tafsir pada masa sahabat Nabi. Kedua mengenai corak tafsir yaitu tafsir ilmiyah, tafsir sufi, dan tafsir politik. Ketiga, mengenai pembaharuan dibidang tafsir.
Menurutnya bahwa tafsir pada zaman Rasulullah SAW, pada awal masa pertumbuhan islam disusun pendek dan tampak ringkas, karena penggunaan bahasa Arab yang murni pada saat itu yang cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat Al-qur’an. Untuk memelihara keutuhan bahasanya, orang-orang Arab mulai meletakkan kaidah-kaidah bahasa arab  seperti ilmu nahwu dan Balaghah dan sebagainya. Disamping itu mereka menulis tafsir al-qur’an untuk pedoman bagi muslimin. Lebih lanjut Ahmad Al-syarbashi mengatakan, sudah dapat dipastikan bahwa dalam Al-qur’an tidak terdapat suatu teks induk yang bertentangan dengan bermacam karya ilmiyah. Munculnya tafsir ilmiah yang dikemukakan Ahmad Al-Syarbashi tersebut antara lain didasarkan  data pada kitab tafsir Ar-razi. Dalam kaitannya kitab Ar-razi banyak bagiannya yang dianggap ilmiah.
Tentang tafsir sufi, Ahmad Al-syarbashi mengatakan ada kaum sufi yang sibuk menafsirkan huruf-huruf al-qur’an dan berusaha menerangkan hubungan satu dengan yang lainnya. Untuk itu Ahmad Al-syarbashi mengutip pendapat Al-Thusi yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah dapat dijangkau dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, segala sesuatu yang telah diungkapkan serta diketahui oleh manusia, semuannya itu berasal dari dua huruf yang terdapat pada permulaan kitabullah, yaitu, Bismillah dan Al-hamdulillah.

Mengenai tafsir politik, Ahmad Al-syarbashi mendasarkan pada kaum khawarij dan lainnyayang terlibat politik dalam memahami ayat-ayat Al-qur’an. Menurut mereka terdapat ayat-ayat Al-qur’an yang berkaitan dengan perilaku dan yang dimainkan oleh kelompok yang bertikai. Misalnya ayat yang artinya: diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya demi keridhaan Allah.(Qs. Al-Baqarah: 207). Menurut mereka ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib. Mengenai pembaharuan dibidang tafsir, Ahmad Al-syarbashi mendasarkan pada beberapa karya ulama yang muncul pada awal abad 20. Selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam kitab tafsir yang diberi nama Tafsir Al-Manar, yaitu mengandung perubahan dan sesuai perkembangan zaman.

C. Model Syaikh Muhammad Al-Ghazali
Syaikh Muhammad Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh pemikir islam abad modern yang produktif. Banyak hasil penelitian yang dilakukannya, termasuk dalam bidang tafsir Al-qur’an. Sebagaimana para peneliti tafsir lainnya. Al-Ghazali menempuh cara penelitian yang bercorak eksploratif, dekskriptif, dan analisis dengan berdasarkan pada rujukan kitab- kitab tafsir yang ditulis ulama terdahulu.Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Al-Ghazali  adalah berjudul Berdialog dengan Al-qur’ani. Dalam buku tersebut dilaporkan macam-macam metode memahami Al-qur’an, ayat-ayat kauniyah dalam Al-qur’an , peran ilmu sosial dan kemanusiaan dalam memahamiAl-qur’an.
Tentang macam-macan metode mengenai Al-qur’an, Syaikh Muhammad Al-Ghazali membaginya kedalam metode klasik dan metode modern. Menurutnya dari berbagai kajian tafsir, kita banyak menemukan metode memahami Al-qur’an yang berawal dari ulama terdahulu. Kajian-kajian ini berkisah pada usaha-usaha menemukan nilai-nilai sastra , fiqih, kalam, pendidikan dan sebagainya. Selanjutnya beliau mengemukakan adanya metode modern. Metode ini muncul karena adanya kelemahan pada metode klasik. Selanjutnya ada juga tafsir yang bercorak dialogis berangkat dari adanya berbagai kelemahan yang tergantung dalam metode penafsiran masa lalu, Syaikh Muhammad Al-Ghazali pada sampai suatu saran antara lain: “ kita inginkan saat ini adalah karya-karya keislaman yang menambah tajamnya pandangan islam dan bertolak dari pandangan islam yang benar dan berdiri diatas argument yang memiliki hubungan dengan Al-qur’an”. Kita hendaknya berpandangan bahwa hasil pemikiran manusia adalah relative dan spekulatif, bisa benar bisa juga salah. Keduanya memiliki bobot yang sama dalam sebuah kegiatan pemikiran. Disisi lain, tidak menutupi mata terhadap adanya manfaat atau fungsi serta sambungan pemikiran keagamaan lainnya, bila itu semua menggunakan metode yang tepat.


BAB III
A. KESIMPULAN
1. Muhammad Husein Adz-Dzahabi dalam “Tafsir Wa Al Mufassirun” menerangkan arti etimologi tafsir dengan “al idhah (penjelasan) dan al bayan (keterangan)” makna tersebut digambarkan dalam QS. Al-Furqan ayat 33, sedangkan dalam kamus yang berlaku tafsir berarti “al ibahah wa kasyf mugtha”(menjelaskan atau membuka yang tertutup). Selanjutnya pengertian tafsir sebagaimana dikemukakan pakar Al-qur’an tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama.
2. Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah- kaidah bahasa serta arti-arti yang terkandung oleh satu kosa kata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat- ayat Al-qur’an sehingga bermunculanlah kitap atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-qur’an , yang keadaanya seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz dalam  Al naba’Al ‘azhim.
3. Adapun model-model penelitian tafsir yakni adalah model Quraish Shihab, Model Ahmad Al-Syarbashi, dan model Muhamad Imam Al-Ghazali.



DAFTAR PUSTAKA
Nata, H. Abuddin, metodologi studi islam, (Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2004)
Anwar, Rosihan, ilmu tafsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005)
Abdullah, M. Yatimin, Studi Islam Kontemporer,(Jakarta: AMZAH, 2006)
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar